Psikolog ungkap kemungkinan alasan di balik ketenangan Jessica
15 Agustus 2016 13:48 WIB
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso (kiri) didampingi kuasa hukumnya Otto Hasibuan (kedua kiri) mendengarkan keterangan saksi ahli yaitu ahli psikologi klinis Antonia Ratih Andjayani (kanan) dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (15/8/2016). Menurut hasil observasi Antonia Ratih, Jessica tidak menunjukkan empati ketika mengetahui Mirna meninggal dunia usai meminum es kopi Vietnam. (ANTARA /Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Saksi ahli psikologi klinis Dra Antonia Ratih Handayani mengungkapkan bahwa terdakwa perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, bersikap tenang dan penuh percaya diri ketika diobservasi tim psikolog selama enam jam.
Padahal menurut dia umumnya orang akan gugup dalam situasi seperti itu.
"Kemungkinan yang bersangkutan sudah tahu apa yang harus ia hadapi," katanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.
Namun, Antonia melanjutkan, ketenangan Jessica akan terusik bila dia berada di situasi yang tak bisa diprediksi.
Ketika psikolog yang berinteraksi dengan Jessica menyatakan pemeriksaan sudah selesai, Antonia yang menjadi asisten psikolog pemeriksa menukas bahwa ia harus melanjutkan pemeriksaan.
"Ekspresi Jessica berubah 180 derajat, dari kooperatif jadi ketus. Bahasa tubuh yang tadinya terbuka, menghadap saya jadi menutup," katanya, menambahkan bahwa itu menyiratkan penolakan.
Antonia menyatakan gerak-gerik tak kentara itu merupakan informasi bagi psikolog klinis.
"Saya melihat jika dia ada dalam situasi yang sudah diantisipasi, dia akan mampu bersikap tenang. Tapi di luar antisipasi, emosinya akan terpicu. Ini yang harus di-ulik."
Dalam interaksi selama enam jam, Antonia mengamati bahwa Jessica menyampaikan semua jawaban secara tegas dan sistematis. Bila diuji, jawabannya memang benar.
"Tetapi dari semua jawaban yang ditampilkan ada hal yang tidak bisa di-ulik lanjut karena ada tembok psikologis yang dipasang terutama tentang masa lalu," katanya.
Padahal menurut dia umumnya orang akan gugup dalam situasi seperti itu.
"Kemungkinan yang bersangkutan sudah tahu apa yang harus ia hadapi," katanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin.
Namun, Antonia melanjutkan, ketenangan Jessica akan terusik bila dia berada di situasi yang tak bisa diprediksi.
Ketika psikolog yang berinteraksi dengan Jessica menyatakan pemeriksaan sudah selesai, Antonia yang menjadi asisten psikolog pemeriksa menukas bahwa ia harus melanjutkan pemeriksaan.
"Ekspresi Jessica berubah 180 derajat, dari kooperatif jadi ketus. Bahasa tubuh yang tadinya terbuka, menghadap saya jadi menutup," katanya, menambahkan bahwa itu menyiratkan penolakan.
Antonia menyatakan gerak-gerik tak kentara itu merupakan informasi bagi psikolog klinis.
"Saya melihat jika dia ada dalam situasi yang sudah diantisipasi, dia akan mampu bersikap tenang. Tapi di luar antisipasi, emosinya akan terpicu. Ini yang harus di-ulik."
Dalam interaksi selama enam jam, Antonia mengamati bahwa Jessica menyampaikan semua jawaban secara tegas dan sistematis. Bila diuji, jawabannya memang benar.
"Tetapi dari semua jawaban yang ditampilkan ada hal yang tidak bisa di-ulik lanjut karena ada tembok psikologis yang dipasang terutama tentang masa lalu," katanya.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016
Tags: