Hikmahanto: tidak adil bebankan penanganan sandera pada pemerintah
10 Agustus 2016 11:31 WIB
Istri mualim I Kapal Charles, Ismail, Dian Megawati Ahmad (tengah) berdialog dengan Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri dalam pertemuan tertutup terkait penyanderaan tujuh kru Kapal Charles oleh kelompok bersenjata di selatan Filipina sejak 22 Juni 2016, Jakarta, Senin (1/8/2016). Kerabat korban penyanderaan yang didampingi anggota DPR tersebut meminta pendampingan dan transparansi informasi perkembangan upaya pemerintah membebaskan para sandera. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menilai publik tidak adil jika hanya membebankan kepada pemerintah urusan pembebasan 11 WNI yang disandera kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf.
Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah tepat dengan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina, juga peringatan agar para anak buah kapal (ABK) tidak melalui jalur pelayaran berbahaya. Namun, peringatan ini seringkali tidak diindahkan oleh ABK atau para perusahaan pemilik kapal.
"Misalnya, kapal berbendera Malaysia (yang dibajak), adil tidak kalau mereka disandera tetapi pemerintah kita yang turun tangan? Penculik minta tebusan, pemerintah Indonesia tidak bisa mendesak perusahaan untuk membayar, sedangkan pemerintah Malaysia angkat tangan," ujar Hikmahanto saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu berpendapat pemerintah Indonesia harus lebih tegas menegakkan peringatan akan jalur-jalur maritim yang berbahaya di sekitar perairan Malaysia dan Filipina.
Di sisi lain, masyarakat terutama para WNI yang bekerja di kapal-kapal asing, harus memahami bahwa saat ini WNI memiliki "harga" tersendiri di mata kelompok penyandera, terbukti dengan kasus yang terjadi selama dua bulan terakhir di mana para penculik terkesan hanya mengutamakan WNI sebagai sasaran.
Motif penculikan WNI oleh Abu Sayyaf disebut-sebut karena dalam pembebasan 10 WNI pada Mei lalu, kelompok militan bersenjata itu berhasil memperoleh uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14 miliar, meskipun pemerintah Indonesia menyangkal isu tersebut.
Pembayaran tebusan, menurut Hikmahanto, selain tidak menunjukkan sikap tegas pemerintah juga bermakna negatif karena Indonesia seolah-olah membantu Abu Sayyaf melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Filipina.
"Sementara kalau kita melihat Kanada dan Norwegia, mereka tidak membayar tebusan meskipun warganya sampai dieksekusi. Empat warga Malaysia (yang disandera) juga belum dibebaskan sampai sekarang karena mereka tegas tidak mau membayar," ucapnya.
Hingga saat ini, WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf berjumlah 11 orang dan belum dibebaskan. Kasus terakhir adalah penyanderaan Herman Bin Manggak, warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang merupakan kapten kapal penangkap udang berbendera Malaysia.
Herman diculik di wilayah Kinabatangan, Sabah, Malaysia pada 3 Agustus lalu, sementara dua ABK kapal masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan Malaysia, telah dilepaskan.
Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah tepat dengan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina, juga peringatan agar para anak buah kapal (ABK) tidak melalui jalur pelayaran berbahaya. Namun, peringatan ini seringkali tidak diindahkan oleh ABK atau para perusahaan pemilik kapal.
"Misalnya, kapal berbendera Malaysia (yang dibajak), adil tidak kalau mereka disandera tetapi pemerintah kita yang turun tangan? Penculik minta tebusan, pemerintah Indonesia tidak bisa mendesak perusahaan untuk membayar, sedangkan pemerintah Malaysia angkat tangan," ujar Hikmahanto saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu berpendapat pemerintah Indonesia harus lebih tegas menegakkan peringatan akan jalur-jalur maritim yang berbahaya di sekitar perairan Malaysia dan Filipina.
Di sisi lain, masyarakat terutama para WNI yang bekerja di kapal-kapal asing, harus memahami bahwa saat ini WNI memiliki "harga" tersendiri di mata kelompok penyandera, terbukti dengan kasus yang terjadi selama dua bulan terakhir di mana para penculik terkesan hanya mengutamakan WNI sebagai sasaran.
Motif penculikan WNI oleh Abu Sayyaf disebut-sebut karena dalam pembebasan 10 WNI pada Mei lalu, kelompok militan bersenjata itu berhasil memperoleh uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14 miliar, meskipun pemerintah Indonesia menyangkal isu tersebut.
Pembayaran tebusan, menurut Hikmahanto, selain tidak menunjukkan sikap tegas pemerintah juga bermakna negatif karena Indonesia seolah-olah membantu Abu Sayyaf melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Filipina.
"Sementara kalau kita melihat Kanada dan Norwegia, mereka tidak membayar tebusan meskipun warganya sampai dieksekusi. Empat warga Malaysia (yang disandera) juga belum dibebaskan sampai sekarang karena mereka tegas tidak mau membayar," ucapnya.
Hingga saat ini, WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf berjumlah 11 orang dan belum dibebaskan. Kasus terakhir adalah penyanderaan Herman Bin Manggak, warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang merupakan kapten kapal penangkap udang berbendera Malaysia.
Herman diculik di wilayah Kinabatangan, Sabah, Malaysia pada 3 Agustus lalu, sementara dua ABK kapal masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan Malaysia, telah dilepaskan.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: