"Menteri baru tidak harus membuat kebijakan baru, apalagi tanpa didahului kajian yang matang. Akibatnya justru akan merugikan anak," kata Sholeh, melalui pesan tertulis di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan, kebijakan pendidikan --apalagi yang bersifat nasional-- tidak bisa didasarkan pada pengalaman orang perorang. Pengambilan kebijakan nasional tidak boleh sepotong-sepotong, hanya berdasarkan pengalaman pribadi.
"Kebijakan yang diambil akan berdampak sangat luas. Jadi perlu kajian utuh," ujarnya.
Menurut Sholeh, masing-masing siswa memiliki kondisi berbeda. Siswa satu dengan lainnya tidak bisa disamaratakan. Menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah dapat mengganggu hubungan sosial anak.
Anak-anak memerlukan hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya di sekolah, lingkungan tempat tinggal dan keluarga di rumah.
Apalagi, tidak semua orangtua bekerja di luar rumah. Ini akan berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. Masing-masing keluarga memiliki kondisi yang berbeda, tidak bisa disamaratakan.
"Tidak semua orangtua itu bekerja. Artinya, jangan dibayangkan kondisi seluruh orangtua di Indonesia hanya dialami menteri pendidikan dan kebudayaan. Kebijakan nasional harus didasarkan kepada kajian yang utuh," tuturnya.