"Saat senja kemarin, saya dengar ada suara seperti tangisan, setelah saya lihat ternyata anak orangutan itu menangis. Saat itu dia di pohon karet di kebun saya. Sampai tadi pagi saya lihat tidak ada induknya makanya saya bawa ke pulang ke Sampit dan saya laporkan," kata Martono, ditemui di rumahnya, di Jalan Gunung Kelud Kecamatan Baamang, Sampit, Kamis.
Petugas keamanan di salah satu bank ini rutin memeriksa kebun karetnya yang terletak di sekitar Sungai Peang, Desa Bapeang, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Namun dia mengaku baru kali ini menemukan orangutan.
Dia kasihan melihat anak orangutan tersebut karena badannya kurus, yang dia duga sedang kelaparan. Saat ini di sekitar kebun karetnya memang sudah tidak ada lagi pepohonan karena hangus terbakar saat kemarau 2015 lalu sehingga sangat sulit bagi binatang untuk mencari makan dan bertahan hidup.
"Saya takut anak orangutan ini mati makanya saya laporkan supaya bisa diselamatkan petugas. Tadi sempat saya beri pisang tadi hanya sedikit yang dimakan. Anak orangutannya selalu minta digendong. Kalau dilepas pasti menangis," kata Martono.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah (BKSDA) Kalimantan Tengah langsung datang ke rumah Martono untuk menjemput anak orangutan itu. Hasil pemeriksaan, anak orangutan itu berjenis kelamin betina berusia sekitar 1,5 tahun.
"Induk orangutan tidak pernah meninggalkan anaknya. Kami belum tahu apakah induk orangutan itu dibunuh atau seperti apa. Yang jelas, saat ini kita selamatkan anak orangutan ini dulu," kata Komandan Pos Jaga BKSDA Sampit, Muriansyah.
Anak orangutan itu segera dibawa ke kantor wilayah mereka di Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat. Diperkirakan membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan tahunan untuk merehabilitasi anak orangutan itu sampai mandiri dan siap dilepasliarkan di habitat aslinya di hutan.
Ini merupakan orangutan ke-10 yang diserahkan warga kepada BKSDA Sampit sepanjang 2016 ini. BKSDA bersyukur karena kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk turut menyelamatkan satwa dilindungi makin meningkat.
Orangutan yang dipelihara manusia sangat rawan mati. Satwa yang anatomi tubuhnya mirip manusia ini juga bisa menularkan penyakit berbahaya kepada manusia seperti tubercolosis, hepatitis dan lainnya.
Warga yang memelihara, apalagi membunuh orangutan diancam sanksi hukum yang berat. Berdasarkan UU Nomor 5/1990 pasal 21, menyebutkan, siapa saja yang memelihara, memburu, memperjualbelikan dan menyelundupkan orangutan, owaowa, kukang, beruang dan satwa liar dilindungi lainnya, akan dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta.