Jakarta (ANTARA News) - Di saat banyak pihak gencar mengejar pertumbuhan produksi dan kemajuan pertanian dengan teknologi mutakhir, para petani Banjar (Br.) Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali justru memilih menghidupkan kembali Tari Sang Hyang Dedari.

Ritual ini adalah salah satu warisan budaya dunia terakhir yang masih ditarikan, demi menjaga keberlangsungan sawah.

Sang Hyang Dedari merupakan satu dari tiga tari sakral, diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) bersama Tari Rejang dan Tari Baris Upacara tahun lalu.

Dusun Br. Geriana Kauh, dihuni sekitar 177 kepala keluarga (KK), yang seluruhnya berprofesi sebagai petani, memilih menjalani kembali ritual guna memulihkan sawah dan relasi antar masyarakat yang sempat "rusak" lebih dari 10 tahun lalu.

Saat ini, ritual Sang Hyang Dedari rutin ditarikan tiap tahunnya, kata I Wayan Bhrata, 56 tahun, prajuru desa Br. Geriana Kauh saat ditemui di rumahnya bersama dengan bendesa setempat, I Nengah Likub, 80 tahun.

Ia menjelaskan, saat padi asli Bali, dikenal dengan "Padi Bodog" atau "Padi Masa" menguning sekitar akhir Maret hingga awal April, warga desa mulai bergotong-royong mempersiapkan prosesi ritual Tari Sang Hyang Dedari.

Bhrata, juga berprofesi sebagai Kepala SD Negeri 01 Duda Utara - belum lama ini lolos seleksi nasional untuk penghargaan lingkungan hidup Adiwiyata Mandiri - menerangkan, sawah sempat rusak karena warga luput menjalankan ritual, menggunakan benih tak organik, berikut pupuk dan pestisida tak ramah lingkungan.

Akibatnya, tanah kehilangan kesuburan karena "dipaksa" terus berproduksi, bahkan hewan seperti belut dan biawak pun tak lagi terlihat di sekitar sawah, jelas Bhrata.

"Pestisida punya banyak dampak negatif, dulu lindung, seperti belut banyak, sekarang langka, mungkin gara-garanya dulu petani atau pak subak banyak menggunakan pestisida dan pupuk yang bukan kandang," jelas Bhrata.

Dampak sawah rusak pun meluas, warga kehilangan minat menggarap lahan, sehingga banyak dari mereka meninggalkan desa dan profesinya sebagai petani, mengadu nasib di kota. Tak hanya itu, sawah juga diterjang bencana kekeringan dan hama, sehingga para petani kian tersiksa dan konflik antarmasyarakat kerap terjadi, ungkap Bhrata.



Kembali ke ritual

Cobaan perlahan hilang saat warga mulai menghidupkan kembali Tari Sang Hyang Dedari, ritual yang bertujuan menolak bala dan menunjukkan rasa syukur berkat hasil panen subur.

"Kami bersama warga desa pakraman (desa adat) sangat mempertahankan ritual yang terkait dengan tradisi bertani kami.Salah satunya Sang Hyang Dedari, tarian untuk Dewi Sri," ujar Bhrata.

Inisiatif itu datang dari bendesa dibantu prajuru desa-nya, para pemimpin adat untuk menghidupkan kembali ritual demi memulihkan lagi sawah yang rusak, kembali ke metode pertanian tradisional, serta menjaga keberlangsungan alam setempat.

"Dari 10 tahun ke belakang, kami rutin menjalankan ritual Sang Hyang Dedari, dan terbukti mampu menyejahterakan petani, dan memulihkan kembali sawah warga. Sudah terbukti jika kami meninggalkan ritual, banyak akibat yang akan diterima warga".

Ritual itu ditarikan seiring dengan aksi warga perlahan mengurangi penanaman benih "hibrida", biasa disebut "Padi Jepang" yang mampu panen tiga kali selama satu tahun. Sebagai pengganti, masyarakat menanam banyak benih asli Bali, "Padi Bodog", walaupun hanya berproduksi satu kali per tahunnya.

"Padi Masa cukup diperhatikan lebih dari satu dasawarsa terakhir, penyemaian dan penanamannya dilakukan lebih awal. Benih padi ini adalah warisan yang harus dipertahankan karena manfaatnya dapat menyembuhkan orang belahan, atau sakit kepala tak tertahankan," ujar Bhrata seraya berujar "padi masa lebih berkualitas, karena lebih montok dibanding padi jepang, bahkan Padi Bodog ini punya banyak kegunaan dan membawa dampak positif bagi petani".

Menurut pengakuan Darpa, salah satu petani desa, warga juga perlahan mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk tak organik.

"Saat ini justru banyak anak muda yang memilih menggarap sawah," ujarnya seraya menunjuk beberapa pemuda di sawah.

"Anak muda yang itu (menunjuk seorang petani berbaju merah), sarjana lulusan program studi ekonomi di Undiksha(Universitas Pendidikan Ganesha), kini ia membantu orang tuanya menggarap sawah," katanya.



"Pertanian ramah lingkungan"

Peneliti Tari Sang Hyang Dedari, Saras Dewi juga pengajar Filsafat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia menjelaskan, Tari Sang Hyang Dedari menunjukkan betapa lekatnya kehidupan ritual masyarakat Bali dengan tradisi pertaniannya.

"Di tengah fenomena alih fungsi sawah yang kian hebat demi pembangunan infrastruktur pariwisata, sebut saja hotel, restoran, pusat hiburan, Tari Sang Hyang Dedari dapat menjadi strategi mempertahankan lahan pertanian yang ramah lingkungan di Bali," ungkap Saras di Denpasar belum lama ini.

Bahkan menurut Saras, Tari Sang Hyang Dedari juga dapat jadi pertimbangan bagi pemerintah untuk memperhatikan aspek sosial-budaya, dan lingkungan dalam upaya menumbuhkan produktivitas sawah.

"Metode pertanian tradisional yang "ekologis" atau ramah lingkungan mesti jadi perhatian, bagaimana ritual dan sawah berperan saling menjaga satu sama lain. Ini tentu fenomena cukup asing, bahkan langka, tetapi masyarakat Geriana Kauh mampu membuktikan, Sang Hyang Dedari justru menyelamatkan sawah dan menjaga lingkungan hidup lebih dari satu dasawarsa terakhir."

Alhasil, Saras Dewi bersama tim yang sudah meneliti tarian selama tiga tahun, berupaya terlibat bersama warga melestarikan Sang Hyang Dedari. Salah satunya, pembuatan pusat dokumentasi Sang Hyang Dedari, berupa museum, juga laman guna memusatkan seluruh informasi terkait yang masih tercecer.

"Pusat dokumentasi itu penting dibuat mengingat Sang Hyang Dedari kini terancam punah, padahal memiliki banyak kegunaan dan menyimpan potensi lain untuk terus dikaji demi kemaslahatan sawah, bahkan masyarakat Bali," ujarnya seraya menerangkan, penelitiannya kini memasuki tahap pengabdian masyarakat, didukung oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Universitas Indonesia.

Nantinya, museum pusat dokumentasi dan pangkalan data dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai infrastruktur awal wisata desa ramah lingkungan, dan acuan bagi program penelitian terkait di masa mendatang, tambahnya mengakhiri.

(T.KR-GNT/A011)