Jakarta (ANTARA News) - Bank Negara Malaysia, selaku otoritas keuangan negara tersebut akan meringankan syarat dan biaya operasional perbankan Indonesia yang ekspansi ke negara jiran tersebut, kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan RI, Mulya Siregar.

Kemudahan tersebut tercapai setelah penandatanganan kesepakatan bilateral antara Indonesia dan Malaysia dalam Kerangka Integrasi Perbankan ASEAN (ASEAN Banking Integration Framewiork/ABIF) yang rencananya dilakukan di Jakarta, Senin petang ini.

"Perbankan Indonesia akan diperlakukan setara seperti domestik bank (di Malaysia) bukan lagi foreign bank (bank asing)," ujarnya.

Perlakuan setara itu sesuai asas kerja sama dalam ABIF, yakni resiprokal dan asas berkeadilan untuk mengurangi kesenjangan. ABIF merupakan kerangka turunan dari ASEAN Framework Agreement on Services Financial Services Liberalisation (AFAS-FSL).

Sesuai dengan kerangka ABIF, lanjut Mulya, bank di Indonesia yang akan diizinkan untuk mendirikan perusahaan perbankan di Malaysia adalah bank yang termasuk "Qualified ASEAN Bank" (QAB).

Dia menjelaskan, sesuai kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia, kategori QAB adalah bank yang memiliki permodalan kuat, bank yang menerapkan tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance/GCG) dengan baik, dan bank yang asetnya dikuasai peserta domestik.

"Dengan syarat seperti itu, yang paling memungkinkan adalah Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV," ujarnya.

Bank dalam BUKU IV adalah bank yang memiliki modal inti lebih dari Rp30 triliun.

Saat ini, hanya ada empat bank di Indonesia yang masuk dalam BUKU IV, yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA).

Mulya memastikan tiga bank yakni Mandiri, BRI, dan BNI telah menyatakan minatnya untuk ekspansi ke Malaysia.

"Hanya BCA yang tidak tertarik," ujarnya.

Namun pendirian perusahaan oleh tiga bank tersebut tergantung kesiapan dari masing-masing bank. Pasalnya, tiga bank tersebut tidak hanya akan mendirikan kantor cabang, namun juga perusahaan (subsidary) di Malaysia.

Dengan kesepakatan kerangka ABIF ini, biaya yang dikenakan kepada perbankan Indonesia pun akan lebih murah. Syarat modal yang dibebankan tetap sebesar 300 juta ringgit Malaysia.

Namun, kata Mulya, tarif administrasi (admission fee) untuk perbankan Indonesia nantinya akan turun dari 10,4 juta ringgit menjadi 5,2 juta ringgit.

Kemudian, biaya dalam sistem pembayaran seperti untuk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang dipungut, turundari 4 ringgit per transaksi menjadi 1-2 ringgit per transaksi.

Namun, untuk iuran tahunan, biaya yang dibebankan akan lebih mahal dibanding bank domestik Malaysia, yakni144 ribu ringgit berbanding 42 ribu ringgit.

Menurut Mulya, hal itu harus dimaklumi karena perbankan Indonesia nantinya tinggal menikmati infrastruktur perbankan yang sudah dibangun Malaysia.

Negoisasi untuk kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam kerangka ABIF ini membutuhkan waktu enam tahun sejak 2011.

Padahal, sejak lama, dua raksasa perbankan Malaysia, yakni Maybank dan CIMB Niaga sudah mengekspansi pasar Indonesia, yang menjadi pasar terbesar di ASEAN.

Sementara perbankan Indonesia kerap dipersulit dan dikenakan biaya yang mahal jika ingin melebarkan bisnisnya ke Malaysia.

"Ketentuan Malaysia sangat membedakan mana yang bank asing dan mana yg domestik. Oleh karena itu, kita upayakan ABIF agar terjadi resiprokal," ujarnya.