"Tidak apa-apa bagi yang meragukan pernyataan saya. Tugas saya menyuarakan dan tugas mereka menindaklanjuti. Sudah seharusnya polisi dan atau bahkan pihak Istana Negara yang dipimpin Presiden Jokowi yang harus menindaklanjuti informasi," ujar dia, saat ditemui di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Minggu.
Azhar mengatakan, informasi dari Budiman seakan mengafirmasi dugaan banyak orang selama bertahun-tahun tentang keterlibatan personel-personel penyelenggara negara dalam penyelundupan, pembuatan, perdagangan, dan pemakaian narkotika.
"Apa yang saya sampaikan itu sudah hingga di kepala orang-orang, selama bertahun-tahun. Ini seperti mengafirmasi secara publik bahwa narkoba ada banyak penyangganya yang berada di sejumlah institusi negara," kata dia.
Dalam perjumpaan selama beberapa jam antara Budiman dan Azhar di Pulau Nusakambangan, calon tereksekusi mati itu (saat itu) menyatakan berbagai hal tentang keterkaitan pejabat-pejabat itu sudah dia katakan dalam pledoinya.
Namun saat ditelusuri kasus Budiman itu di situs-situs resmi terkait, pledoi itu tidak ada lagi; bahkan nama dan alamat pembelanya juga sama saja, lenyap.
"Kalau mengikuti pernyataan kepala Kepolisian Indonesia dan BNN: saya (yang) harus membuktikan, saya mau bilang, saya bukan pejabat negara, tidak dilengkapi alat-alat kerja untuk memaksa, mencari kelengkapan," katanya.
"Saya, Haris Azhar siap kapanpun untuk kooperatif. Lalu jika ada kesalahan dari keterangan Freddy Budiman yang disampaikan ke saya atau kesalahan saya ketika menyampaikan keterangan Freddy Budiman, saya siap bertanggung jawab," tutur dia.
Salah satu pernyataan Budiman yang diungkapkan Azhar melalui surat sebelum dia dieksekusi tembak mati, di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, Jumat malam lalu, selama menyelundupkan narkoba ke Indonesia, dia sudah menyetorkan uang sebesar Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat di Kepolisian Indonesia.
Salah satu modus mendulang uang haram bisnis narkoba yang dilakoni pejabat-pejabat itu, sebagaimana penuturan Budiman, adalah dengan "titip harga". Dia katakan, harga sebutir ekstasi dari pabriknya di China hanya Rp5.000 dan bisa dijual Rp200.000 sebutir di Indonesia.
Para pejabat-pejabat ini, menurut penuturan Budiman sebagaimana disampaikan Azhar kemudian, meminta rente "titip harga" antara Rp20.000-Rp30.000 perbutir ekstasi yang dijual di Indonesia. Pihak yang meminta rente itu juga bukan satu pihak saja, menurut keterangan itu.
Selain itu, Budiman juga mengaku ada oknum pejabat BNN juga meminta agar LP di Nusakambangan mencopot kamera pengawas CCTV di sel Budiman. Padahal inisiatif memasang kamera di sel itu oleh kepala lembaga pemasyarakatan sejalan dengan status hukum Budiman yang dalam pengawasan super ketat.