Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung menyatakan nasib 10 terpidana yang semula masuk dalam eksekusi mati jilid III, akan ditentukan kemudian atau ditangguhkan karena perlu penelitian kembali.

"Penangguhan itu untuk harus diteliti, saya terima hasil keputusan penangguhan, perlu dilakukan. Nanti akan ditentukan kemudian," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, Jumat.

Karena itu, ia meminta semua pihak yang tidak setuju bisa memakluminya.

Ia mengatakan, penangguhan itu juga karena memperhatikan masukan dan melakukan pertimbangan matang.

Sedangkan pertimbangan terhadap empat terpidana yang dieksekusi, ia menjelaskan, karena tindak kejahatan mereka bersifat masif dan dengan memperhatikan pertimbangan dari sisi yuridis dan nonyuridis.

Menjelang eksekusi JAM Pidum melaporkan, setelah pembahasan dengan unsur-unsur daerah, ternyata dari hasil kajiannya empat orang itu ternyata memenuhi unsur tersebut, tuturnya. Keempat terpidana mati itu memiliki peran yang penting di kalangan sindikat sebagai pemasok penyedia, pengedar, pembuat dan pengekspor narkoba.

Ia mengingatkan Indonesia sekarang ini bukan lagi sebagai tempat transit melainkan sebagai lahan usaha atau kegiatan mereka menjalankan praktik kejahatannya.

Kejahatan narkoba sudah merambah ke daerah-daerah tidak hanya di kota besar. Korbannya sekolah di kampus, dosen, bahkan masuk ke lingkungan rumah tangga.

Disebutkan bahwa eksekusi mati itu bukan tindakan yang menyenangkan, tapi tidak lain untuk menyelamatkan generasi.

Meski demikian, Prasetyo menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya terpidana mati kepada keluarga dan negara asalnya.

"Jaksa hanya bertugas melaksanakan keputusan pengadilan, perintah undang-undang. Kami melaksanakan sebaik-baiknya," ucapnya.

Keempat terpidana mati itu, Seck Osmane (42), warga negara Nigeria. Tertangkap tangan dengan barang bukti 2,4 kilogram heroin pada 24 Oktober 2003. Dia telah melalui proses hukum yang cukup panjang.

PN Jaksel memvonis mati pada 21 Juli 2004, sempat mengajukan banding, namun PT Jakarta menguatkan putusan tingkat pertama, pada 5 Januari 2005 mengajukan kasasi ke MA ditolak. Ia kemudian melakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali sebanyak dua kali, namun ditolak. Selain itu, Usmani tidak pernah mengajukan grasi.

Humprey Ejite alias Doctor (41), WN Nigeria tertangkap tangan di Depok, divonis mati di PN Jakpus pada 6 April 2004, kemudian 22 Juli 2004 mengajukan banding yang tetap ditolak oleh PT. Kasasi ke MA pada 4 November 2004, dua kali PK ke MA kembali ditolak.

Michael Titus (36), WN Nigeria, ditangkap di Villa Melati Mas BSD Tangerang dengan barang bukti 633 gram heroin, yang bersangkutan berperan sebagai distributor. PN Tangerang, Banten memvonis mati kemudian pada 12 Januari 2014 mengajukan banding dan ditolak. Ia mengajukan kasasi ke MA pada 16 Juli 2004, ditolak juga.

Dua kali ia mengajukan PK, 10 Oktober 2011 dan Juli 2016, namun tetap ditolak, kendati demikian ia tidak mengajukan grasi.

Freddy Budiman (39), WNI, ditangkap karena kepemilikan narkoba 1,4 juta butir ekstasi pada 25 Mei 2012 di Jakarta Barat. Saat dipenjara di LP Cipinang, Freddy ditangkap kembali karena memproduksi narkoba di dalam penjara. MA menolak permohonan kasasinya dan upaya PK juga pada 22 Juli 2016, harus kandas.