Jakarta (ANTARA News) - Penerapan kemasan polos untuk produk tembakau oleh Australia sejak Desember 2012 dinilai bisa mengancam produk lain yang dianggap berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan, meskipun masalah tersebut masih dalam proses penyelesaian.

Saat ini masalah tersebut masih dalam proses penyelesaian pada Panel Sengketa World Trade Organization (WTO), kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, di Jakarta, Rabu.

"Perhatian kita sebenarnya bukan hanya masalah produk tembakau, ada potensi yang lebih luas. Misalnya, upaya untuk memerangi produk yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan itu tidak hanya dihadapi oleh produk tembakau," katanya.

Menurut Iman, apa yang dilakukan oleh Australia terhadap produk tembakau tersebut akan berimbas ke produk lainnya yang dianggap berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Salah satu contoh kasus adalah Komite Kesehatan Parlemen Inggris mulai mempelajari untuk penerapan kemasan polos bagi minuman beralkohol.

Selain itu, lanjut Iman, pada Maret 2014, World Health Organization meluncurkan konsultasi publik bagi sebuah rancangan yang akan mengatur pemasukan gula dalam makanan. Dan, Direktur Kampanye Unmask Palm Oil meminta pemberian label untuk minyak kelapa sawit.

"Sudah mulai main-main untuk produk non-tembakau. Pengaturan pemasukan gula itu arahnya juga kemasan polos yang dipercaya untuk mengurangi gejala meningkatnya penderita diabetes di dunia," kata Iman.

Sementara untuk pelabelan minyak sawit, imbuh Iman, pada awalnya akan sama seperti produk tembakau berupa pemberian label kecil yang nantinya akan lebih besar, dan bisa diberikan grafik berupa gambar yang menjelaskan bahwa minyak sawit tidak sehat atau bahkan merusak lingkungan seperti menyebabkan kebakaran hutan.

"Ini yang masih kita monitor, jangan-jangan akan semakin meluas. Namun prinsipnya kami tidak mengatakan bahwa merokok itu sehat, itu berbahaya, kita tahu itu. Merokok merugikan secara kesehatan dan finansial, kita hanya menyatakan bahwa ada yang salah dengan penerapan kebijakan kemasan polos tersebut," ujarnya.

Menurut Iman, apa yang dilakukan oleh Australia tersebut merupakan pelanggaran terhadap komitmen pada WTO dan merupakan kebijakan yang berlebihan. Sesungguhnya, masih banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mengurangi preferensi dan daya saing bagi generasi muda dan perokok pemula.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Kamdani menyatakan bahwa apa yang dilakukan Australia tersebut bisa menjadi preseden untuk produk konsumsi lainnya diluar produk tembakau.

"Tren di dunia, bahwa produk yang dianggap tidak sehat seperti produk yang bisa menimbulkan obesitas, kolesterol dan lainnya direkomendasikan untuk memperketat kemasannya. Ini kontraproduktif bagi dunia usaha," ujar Shinta.

Menurut Shinta, penerapan kemasan polos untuk produk tembakau oleh Australia tersebut juga melanggar hak kekayaan intelektual bagi produk tembakau, menghilangkan fungsi merek dagang, dan membuat produk Indonesia hampir tidak bisa dibedakan antara satu dengan lainnya.

Indonesia bersama dengan Republik Dominika, Honduras dan Kuba telah mempersengketakan kebijakan kemasan polos pada produk tembakau yang diterapkan oleh Australia sejak Desember 2012. Indonesia sesungguhnya telah melakukan pendekatan bilateral sebelum mengajukan gugatan tersebut.

Kasus tersebut ditangani oleh Panel Sengketa WTO (DS467) yang diikuti oleh pihak ketiga sebanyak 36 negara anggota dan merupakan kasus terbesar dalam jumlah pihak ketiga yang berpartisipasi.

Indonesia menganggap kebijakan yang diterapkan Australia tersebut melanggar beberapa pasal dalam perjanjian WTO dan merupakan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, karena ada langkah lain yang bisa ditempuh dan terbukti efektif untuk mengurangi jumlah perokok dan menekan jumlah perokok pemula.