Jakarta (ANTARA News) - Cinta itu tidak dapat dirumuskan, hanya dapat dirasakan. Karena menyangkut perasaan, cinta bersifat personal, individual, masing-masing punya rumusannya sendiri.

Bagi orang yang jatuh cinta, apalagi sedang menuju ke mahligai pernikahan, cinta menghadirkan perasaan bahagia, berbunga-bunga, aman dan nyaman jika sedang asyik berdua secara fisik maupun sedang berkomunikasi.

Lapar dan haus hilang saat itu, yang hadir hanya perasaan senang. Itu kalau sedang akur, tapi kalau sedang terjadi salah paham, dampaknya: gelisah, serba salah, uring-uringan tak karuan juntrungannya, rindu-dendam tak terperikan. Cinta bisa mengubah segalanya.

Semua itu baru cinta antar-manusia, khususnya di antara lain jenis. Ada lagi, welas asih atau compassion, kasih sayang, kepedulian untuk menolong orang atau makhluk lain yang memerlukannya. Belum lagi, cinta yang berkecamuk dalam dada para pencari hakikat. Yang terakhir ini lebih sulit untuk dipahami.

"Saya sedang bercinta, berdua dengan Tuhan", adalah ungkapan yang pernah terucapkan oleh sufi yang sedang dalam kondisi ekstasis, asyik-masyuk, mabuk cinta mistis. Kondisi itu kadang dilukiskan sebagai "Manunggaling Kawula-Gusti" atau "bersatunya" makhluk dan Sang Khalik. Ungkapan itu sulit diverifikasi kebenarannya. Tuhan oleh kaum sufi dijuluki "Kekasih"

Mistikus Islam termasyhur, Jalaluddin Rumi, yang terkenal dengan syair-syair cintanya, menyebut Tuhan adalah Sumber dan Cinta itu sendiri. Ia menyebutnya "Ishq". Cinta dilukiskan sebagai samudra tiada tepi. "Laut ke-Tiadaan". Semuanya melebur menjadi satu berselimutkan tabir rahasia berlapis-lapis. Satu tabir kita singkap, muncul tabir baru, tak pernah habis.

Ibn Arabi, sufi dan penyair kelahiran Spanyol abad ke-12, dalam karyanya "Futuhat", mengungkapkan: "Cinta tak punya definisi". Siapa yang merumuskannya, berarti belum mengenal cinta. Orang yang mereguknya, tidak pernah kehilangan rasa haus. Mau tambah terus. "Katrem, karem", kata orang Jawa.



"Atom" bertubrukan

Para fisikiawan, teman-teman seangkatan sang jenius Albert Einstein, juga tidak mampu membuat definisi tentang cinta. Dalam sebuah film yang mengisahkan kehidupan Einstein, berjudul IQ, terdengar ungkapan: "Tak tahu siapa akan mencintai siapa". Sebuah misteri.

Ketika terjadi adegan Catherine Boyd berciuman dengan Edwards Walters, orang yang dicintainya, terdengar komentar: "Atom bertubrukan dengan atom lain di suatu tempat".

Einstein menyebut mereka berdua sebagai manusia cerdas, otak terhebat. Catherine adalah keponakan Einstein, sedangkan Edwards adalah montir mobil yang tak berpendidikan tinggi, tapi bisa menjelaskan ihwal energi.

Ketertarikan (saling menarik) adalah awal dari anak manusia saling jatuh cinta. Di samping penampilan fisik, ketertarikan muncul, menurut film itu, karena tiga hal, yakni: komunikasi verbal, keamanan finansial dan kesamaan intelektualitas. Tapi, ketertarikan tidak akan bertahan selamanya. Karena itu, orang bisa jatuh cinta berulang kali. Ketertarikan bukanlah cinta sejati. Nafsu bukanlah cinta sesungguhnya, hanya sarana, pelengkap dan bumbu.

Ketertarikan hingga jatuh cinta sampai ke pernikahan adalah masalah hati, di luar nalar. Modal utamanya adalah hati (yang saling cocok). Ini dilukiskan dengan pas dan indah dalam tembang Jawa:

"Gegaraning wong akrami" (Pegangan orang menikah): "Dudu bandha, dudu rupa, nanging ati pawitane. Yen gampang luwih gampang, yen angel kepati, tan bisa tinumbas arta".

Terjemahan bebasnya: "Bukan harta, bukan rupa, tapi modalnya adalah hati. Kalau gampang, bukan main mudahnya. Kalau sukar, bukan main pula sulitnya. Tak bisa dibeli dengan uang".

Karena alasan itu, mungkin banyak orang yang masih "jomblo" atau melajang walau usia sudah jauh melewati umur perkawinan ideal. Penyebabnya sering disebut: belum ada hati yang cocok atau "ngeklik", menurut bahasa gaul generasi teknologi digital sekarang.

Siapa yang menggerakkan hati? Siapa lagi, kalau bukan Allah, Sumber Cinta dan Sang Maha Pecinta. Berdasar itu, orang Jawa membuat ungkapan: "Lair, jodo, rejeki lan mati kuwi urusanne Gusti Allah". Artinya, lahir, jodoh, rejeki dan mati itu urusan Allah. Kewajiban manusia, sebatas berusaha.

Jika dikaitkan dengan Tuhan, cinta memang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, gambar dan isyarat apa pun. Kata kiai di kampung dulu: "Air seluruh samudra tidak cukup untuk menjadi tinta dan daun di seluruh dunia tidak cukup menjadi kertasnya untuk melukiskan ke-Maha-an Allah".

Cinta bisa membuat orang bahagia luar biasa, tergila-gila, bahkan sampai gila betulan. Banyak orang menjadi penyair, pengarang novel dan komponis gara-gara jatuh, gagal dan kehilangan cinta. Begitu tak terhitung ungkapan tentang cinta dalam syair dan lagu.

Contohnya adalah berikut ini: "Love is an irresistable power". Artinya, cinta itu kekuatan yang tak bisa dibendung. Lha, kalau Allah sendiri yang ingin bersatu, siapa kuasa membendungnya?

Khallil Gibran, penyair Libanon, melukiskan hubungan erat antara hidup, cinta dan keindahan (Life, Love and Beauty). Terjemahan bebasnya sbb:

Hidup tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga, atau buah tanpa biji. Cinta tanpa keindahan ibarat bunga tanpa bau harumnya.

Kesimpulannya: hidup, cinta dan keindahan adalah satu kesatuan sama seperti pohon, bunga dan bau harumnya. Siapakah pencipta ketiganya? Siapa lagi kalau bukan Tuhan, tempat bersemayam hakikat cinta!

Selamat mencintai pasangan Anda masing-masing, apa adanya sesuai janji setia pada awalnya. Juga jangan lupa untuk mencintai seluruh makhluk dan isi jagad raya sebagai manifestasi (tajalli) Allah sebagai bentuk ibadah kita untuk turut mewujudkan rakhmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam).

*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(A015/T007)