Namun, tak sedikit pula orang yang bertanya bahkan mempertanyakan fenomena ketidakrasionalan yang berlaku dalam kasus-kasus tertentu kebahasaan. Bukankah kata "rasional" hampir identik dengan "logis"-memakai logika?
Syukurlah kalangan ahli bahasa yang kadang juga disebut kaum linguis, menghadapi gugatan dan pertanyaan itu tanpa rasa jemu memberikan pencerahan di berbagai forum.
Forum itu bisa berupa ruang diskusi publik, loka karya kebahasaan, dan sekarang yang paling popular adalah ruang di media sosial, salah satunya di sejumlah grup WhatsApp.
Di grup yang bernama Klinik Bahasa yang dikelola para ahli linguistik dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan diikuti peminat masalah kebahasaan dari berbagai kalangan profesi, di antaranya guru dan wartawan, beragam persoalan kebahasaan dibicarakan, dipertanyakan dan dikupas dengan riuh rendah.
Persoalan rasionalitas bahasa merupakan salah satu topik paling sering diperbincangkan. Ada yang memulai mengemukakan topik begini: kenapa frasa dalam bahasa Indonesia yang berupa pasangan kata sering berpola tak rasional seperti "pulang pergi", "keluar masuk", "kaya miskin", "tinggi rendah".
Bagi para penanya, susunan frasa demikian tidak masuk akal alias tidak mengikuti urutan rasional. Mestinya, demikian mereka berpikir, urutan yang rasional adalah sebaliknya, "pergi pulang" sebab seseorang itu melakukan urutan aktivitas pergi dulu baru kemudian pulang.
Menjawab pertanyaan demikian, sejumlah ahli linguistik mengatakan: frasa semacam itu merupakan bentuk beku, semacam ujaran hasil produk kebahasaan masa lampau yang dilatarbelakangi kondisi kultural para leluhur yang harus diterima sebagai kebenaran yang telah berlangsung dan tak perlu diperdebatkan lagi, apalagi diubah untuk memenuhi rasionalitas pengguna bahasa masa kini.
Tak hanya frasa berpasangan seperti di atas yang serasa menyalahi rasionalitas pengguna bahasa masa kini. Ada juga ungkapan keseharian produk kebahasaan masa silam yang jika disimak dan dipikir lebih seksama akan terasa irasional. Ungkapan itu antara lain "gali lubang", "masak nasi", "jahit baju".
Bagaimana seseorang menggali lubang atau sumur? Bukankah yang digali adalah tanah yang belum berupa lubang atau sumur. Memang ada orang yang menggali sumur karena kedalaman sumur yang ada sudah tak mengalirkan lagi air dari mata airnya.
Begitu juga dengan uangkapan "memasak nasi" yang dinilai irasional. Yang betul, menurut penggugat yang memanglimakan rasionalitas berbahasa, adalah memasak beras menjadi nasi. "Menjahit pakaian", kata mereka, juga nonsens karena itu pekerjaan mengada-ngada. Yang dijahit adalah kain yang sudah digunting-gunting sesuai dengan pola untuk dijadikan baju.
Para ahli linguistik menjawab, semua itu merupakan bentuk beku, bukan baku, tapi sudah menjadi kelaziman dan tak perlu diubah atau dibetulkan sesuai logika. Para ahli bahasa itu juga mengatakan bahwa fenomena semacam itu berlangsung universal di semua bahasa di dunia.
Para penutur bahasa Inggris juga menerima tanpa protes sejumlah bentuk-bentuk kebahasaan yang tak mengikuti kelaziman sebagaimana tercermin antara lain pada kasus irregular verbs.
Tampaknya, kesadaran menerima bentuk beku kebahasaan itu perlu dibarengi kewaspadaan terhadap fenomena salah kaprah kebahasaan. Fenomena bentuk beku dan gejala kebahasaan salah kaprah adalah dua hal yang harus dipahami perbedaannya.
Para penutur bahasa yang cermat dan kritis tak perlu mempersoalkan bentuk beku tapi perlu mengambil sikap terhadap kesalahan umum dalam berbahasa. Salah kaprah kebahasaan, bagi penutur yang cermat, tak perlu diikuti.
Salah satu contoh salah kaprah kebahasaan paling mewabah di sini adalah memadankan makna "etis" dengan "sopan santun", "lembut atau halus bertutur kata". Salah kaprah yang satu ini bukan cuma berlangsung di ranah ujaran lisan tapi juga dikukuhkan di mandala tulisan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tesaurus Bahasa Indonesia dan Tesamoko mengukuhkan salah kaprah pemadanan antara "etika", "etis" dan "kesopansantunan", "sopan santun". Dalam kultur yang melahirkan konsep tentang moralitas itu, "etika" harus dibedakan secara diametral dengan "etiket", yang sepadan dengan "kesopansantunan".
Usaha menyadarkan salah kaprah kebahasaan yang perlu dikoreksi itu tentu telah dilakukan kalangan para ahli linguistik maupun peminat masalah kebahasaan. Mereka mengoreksi perkara itu baik lewat forum diskusi maupun sejumlah rubrik bahasa di media massa, juga media sosial.
Salah kaprah yang berupa pemadanan antara "etika" dan "kesopansantunan" perlu, bahkan wajib, dilakukan karena implikasi pragmatis dari pemadanan itu yang cukup serius. Hanya karena tak terbiasa hidup dalam kultur masyarakat yang berbahasa ala keraton feodal, seorang pejabat yang punya integritas moral tinggi pun bisa dicap tidak bermoral, setara dengan penipu, pengkhianat, pencuri dan pelenyap nyawa sesama.
Atas dasar implikasi yang tak main-main itulah, salah kaprah kebahasaan di atas harus dikoreksi, terlepas apakah mayoritas pengguna bahasa mengacuhkannya atau malah cuek masa bodoh.