Desakan ekonomi membuat gadis Kalianda hijrah ke Jakarta
9 Juli 2016 19:36 WIB
ilustrasi Arus Balik Pascalibur Panjang Sejumlah calon penumpang bersiap menaiki Kereta Api Rajabasa rute Palembang-Bandar Lampung di Stasiun Kertapati, Palembang, Sumatra Selatan, Minggu (8/5). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/kye/16) ()
Jakarta (ANTARA News) - Lia, seorang gadis asal Kalianda, Lampung, memberanikan diri keluar dari zona nyaman di rumah, menyeberang Selat Sunda menuju Ibu Kota Jakarta demi memperbaiki kondisi ekonominya.
Gadis yang saat itu berusia 17 tahun datang dari Lampung ke Jakarta atas ajakan seorang teman, yang sudah lebih dulu bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Jakarta.
Iming-iming pendapatan yang lebih besar demi memperbaiki kehidupan yang lebih laik, membuat lulusan Sekolah Menengah Pertama ini rela berprofesi sama seperti temannya.
"Kalau di Jakarta kan boleh dibilang pendapatan lebih besar daripada di Lampung. Jadi, saya mau ke sana," kata Lia saat dihubungi Antaranews di Jakarta, Sabtu.
Ditinggal sang ayah, yang sudah kembali ke pangkuan sang Khalik, ibunda Lia terpaksa menjadi tulang punggung keenam anaknya.
Berkebun dan membuka warung di rumah nyatanya belum membuat keluarga Lia hidup berkecukupan.
Lia dan keluarga seringkali makan hanya dengan garam ataupun rebusan daun singkong hasil panen sang ibu di ladang.
Bertekad memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, gadis inipun hijrah ke Jakarta.
"Pertama kali ke Jakarta ya senang, karena ramai, terus banyak tempat bagus-bagus, gedung tinggi-tinggi. Senanlah pokoknya," ungkap Lia menggambarkan perasaannya tiga tahun lalu.
Bekerja sebagai ART, tak membuat Lia malu dengan teman-temannya di kampung halaman.
Baginya, selama pekerjaan yang ia jalani halal, maka ia akan berusaha keras untuk menjalaninya.
Setiap harinya, anak kelima dari enam bersaudara ini mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel dan melakoni seluruh pekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kesempatan, ia juga pernah menjadi pengasuh anak. Semua ia jalani dengan suka cita.
Pendapatan yang awalnya Rp1 juta per bulan, kini Lia bisa meraup Rp1,5 juta per bulan dari hasil kerjanya.
Ia merasa Jakarta menjelma menjadi kota impian, yang mampu memberi kebahagiaan pada dirinya, sekaligus keluarganya di kampung, termasuk sang ibu.
"Uangnya lumayan buat keseharian dan mengirim ibu di Lampung. Urusan di kampung kan ada saja. Kadang belum gajian saja sudah ditagih," selorohnya.
Melihat kakaknya memiliki kehidupan lebih enak, adik Lia, Supiati, akhirnya mengikuti jejak Lia. Pia, demikian sapaannya, juga memilih Jakarta sebagai kota mencari sumber pencaharian.
Kendati belum berpendapatan sebesar Lia, Pia mengaku ingin mengambil bagian untuk mengurangi beban sang ibu untuk mencari nafkah.
"Biar kehidupan jauh lebih baik," pungkasnya.
Gadis yang saat itu berusia 17 tahun datang dari Lampung ke Jakarta atas ajakan seorang teman, yang sudah lebih dulu bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Jakarta.
Iming-iming pendapatan yang lebih besar demi memperbaiki kehidupan yang lebih laik, membuat lulusan Sekolah Menengah Pertama ini rela berprofesi sama seperti temannya.
"Kalau di Jakarta kan boleh dibilang pendapatan lebih besar daripada di Lampung. Jadi, saya mau ke sana," kata Lia saat dihubungi Antaranews di Jakarta, Sabtu.
Ditinggal sang ayah, yang sudah kembali ke pangkuan sang Khalik, ibunda Lia terpaksa menjadi tulang punggung keenam anaknya.
Berkebun dan membuka warung di rumah nyatanya belum membuat keluarga Lia hidup berkecukupan.
Lia dan keluarga seringkali makan hanya dengan garam ataupun rebusan daun singkong hasil panen sang ibu di ladang.
Bertekad memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, gadis inipun hijrah ke Jakarta.
"Pertama kali ke Jakarta ya senang, karena ramai, terus banyak tempat bagus-bagus, gedung tinggi-tinggi. Senanlah pokoknya," ungkap Lia menggambarkan perasaannya tiga tahun lalu.
Bekerja sebagai ART, tak membuat Lia malu dengan teman-temannya di kampung halaman.
Baginya, selama pekerjaan yang ia jalani halal, maka ia akan berusaha keras untuk menjalaninya.
Setiap harinya, anak kelima dari enam bersaudara ini mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel dan melakoni seluruh pekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kesempatan, ia juga pernah menjadi pengasuh anak. Semua ia jalani dengan suka cita.
Pendapatan yang awalnya Rp1 juta per bulan, kini Lia bisa meraup Rp1,5 juta per bulan dari hasil kerjanya.
Ia merasa Jakarta menjelma menjadi kota impian, yang mampu memberi kebahagiaan pada dirinya, sekaligus keluarganya di kampung, termasuk sang ibu.
"Uangnya lumayan buat keseharian dan mengirim ibu di Lampung. Urusan di kampung kan ada saja. Kadang belum gajian saja sudah ditagih," selorohnya.
Melihat kakaknya memiliki kehidupan lebih enak, adik Lia, Supiati, akhirnya mengikuti jejak Lia. Pia, demikian sapaannya, juga memilih Jakarta sebagai kota mencari sumber pencaharian.
Kendati belum berpendapatan sebesar Lia, Pia mengaku ingin mengambil bagian untuk mengurangi beban sang ibu untuk mencari nafkah.
"Biar kehidupan jauh lebih baik," pungkasnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016
Tags: