Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menyatakan, perlu penerapan teknologi lebih canggih untuk mengantisipasi dan mengatasi gelombang mudik Lebaran agar persoalan yang ada saat ini tidak terulang di masa mendatang.

"Dunia sudah maju, ada teknologi yang setiap saat bisa untuk melihat kemacetan," katanya, kepada pers, di Jakarta, Kamis.


Persoalan yang sama selalu terjadi saban tahun berpangkal pada gelombang dan jumlah kendaraan yang bertubi-tubi membanjiri jalan-jalan tol dan alternatif dari kota besar ke kota kecil dan desa-desa. Terkhusus di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang memiliki penduduk terbanyak di Indonesia.




Walau pemerintah terus menambah panjang dan lebar serta jaringan jalan tol, namun selalu tidak bisa sebanding dengan gelombang mudik. Kemacetan parah dianggap sebagian kalangan sebagai "konsekuensi wajar" dari jumlah kendaraan yang jauh di atas normal melaju di jalan-jalan.




Mudik Lebaran kali ini ditambah dengan berita kematian belasan pemudik di tol, yang dibantah dan dinyatakan pemerintah bahwa penyebabnya bukanlah kemacetan parah hingga belasan jam di jalan tol itu.


Hamzah mengatakan, pemerintah bisa melacak dengan teknologi dan menghitung semuanya yang ada sehingga tidak berkumpul di satu titik pada saat yang sama. "Ini bisa diantisipasi dari awal. Harusnya bisa diprediksi, ada ilmunya, berapa mobil yang akan mudik setahun sampai lima tahun ke depan," katanya.

Pemerintah perlu mengkalkulasi jumlah kendaraan dan jumlah ruang jalan dengan variabel-variabel lain sehingga ada solusi. "Melalui perencanaan bisa dihitung. Sekarang orang stres dan banyak korban. Kalau sudah ada kedaruratan seperti ini harusnya ada solusi darurat," katanya.

"Itulah yang saya katakan seharusnya jalan darurat ada untuk evakuasi. Seperti asisten rumah tangga saya itu biasanya sekitar enam jam (sampai rumah), kemarin itu 48 jam. Tidak ada tanggap darurat, orang seperti dibiarkan numplek dengan berbagai masalahnya mulai ketidaktersediaan toilet, makanan, air bersih dan sebagainya," katanya.



Jadi kesimpulannya, kata politisi PKS ini, pemerintah perlu merancang manajemen yang lebih baik dalam mengatasi arus mudik. "Kalau tahun depan masih berulang yah saya tidak tahu harus bilang apalagi," katanya.

Dia mengakui pernyataannya keras namun untuk kebaikan semua. "Ini harus kita katakan secara keras karena ini masalah nyawa warga negara. Kita belum menghitung kerugian lain, misalnya, bensin dan kemubaziran secara nasional," katanya.

Hamzah mengemukakan, persoalan kemacetan pada arus mudik tahun ini harus membuka mata hati pihak terkait. "Sekarang membuka mata kita tentang tol. Perlu ada inisiatif untuk menyelamatkan orang yang terjebak macet," katanya.



Satu foto di media sosial menyajikan pemandangan toilet-toilet darurat dari plastik biru dengan rangka bambu didirikan di dekat pagar batas pengaman jalan tol untuk menampung keperluan buang hajat pemudik yang terjebak kemacetan parah sampai belasan jam di jalan tol.

Tol seharusnya jalan bebas hambatan dan semestinya pengelolanya tahu volume yang masuk dan tahu bahwa akan terjadi hambatan. "Kalau ada kemacetan maka tidak bisa disebut jalan tol lagi dan semestinya tidak boleh memungut bayaran," katanya.

Saat arus mudik, kata dia, pengelola jalan tol sudah mendapatkan pemasukan dari yang seharusnya. Oleh sebab itu kematian warga itu harus mendapat perhatian serius. "Ini sama saja kalau orang naik bus kecelakaan dan mati, harus ada ganti rugi (santunan)," katanya.

"Namanya jalan tol bebas hambatan. Harusnya sekarang pihak tol mengganti rugi. Jalan biasa ada alternatif, di tol gak seperti ini, gak ada alternatif dan tentu menciptakan stes," katanya.

Dia menyatakan, setiap kehilangan satu nyawa seharusnya dianggap sebagai persoalan serius dan tidak boleh dianggap persoalan biasa. "Ini konsepsi negara beradab, satu atau sepuluh nyawa nilainya sama, apalagi ada belasan nyawa hilang. Ini satu hal serius," katanya.

Dia mengemukakan, fenomena kemacetan setiap tahun adalah sesuatu yang berulang dan sebetulnya pasti bisa di atasi serta diantisipasi.

Sebelumnya, Hamzah menyarankan pemerintah dan pengelola jalan tol menggratiskan tarif ketika terjadi antrean panjang hingga beberapa jam agar pemudik tidak tersiksa. Kemacetan itu, antara lain, terjadi di pintu tol keluar Brebes.

Beberapa pemudik Lampung sependapat dengan pendapat Hamzah bahwa kalau terjadi kemacetan, maka tidak layak disebut jalan tol dan tidak layak pula dipungut bayaran karena tidak ada bedanya dengan jalan biasa.



Untuk menghindari antrean di pintu tol, perlu menerapkan cara pembayaran yang lebih beragam, kalau perlu pakai teknologi sensor elektronik seperti ERP yang diterapkan untuk jalan berbayar.

Selain itu, perlu memberi kemudahan kepada warga untuk membayar tol dengan berbagai cara. Misalnya, ATM, kartu kredit, e-tol, e-money, Kantor Pos, minimarket dan sebagainya. "Jangan solusinya cuma nambah petugas dan jumlah loket," kata pemudik.

Dengan demikian, kendaraan langsung "bablas" ketika melintasi pintu tol dan tidak harus antre berjam-jam hanya untuk membayar tarif keluar pintu tol.

Yang tak kalah pentingnya pengelola jalan tol harus taktis dengan tidak membiarkan semakin banyak kendaraan yang masuk tol agar tidak terjadi kemacetan di pintu tol. Artinya, jika terjadi antrean panjang di pintu tol, maka untuk sementara pintu msuk tol ditutup dan dibuka lagi ketika antrean tidak terlalu panjang di pintu tol.

"Sebaiknya ketika di pintu tol terjadi antrean, misalnya, maksimal satu atau dua kilometer, segera tutup pintu masuk tol agar tidak terjadi antrean lebih panjang yang menyiksa pemudik lalu alihkan ke jalan lain," kata dia.



"Jangan demi pendapatan, lalu membiarkan semakin banyak kendaraan masuk tol tanpa memikirkan risiko yang dialami pemudik," kata pemudik lain. Hak pemudik sebagai konsumen harus dilindungi.

Mestinya pengelola jalan tol itu membatasi kendaraan yang akan masuk agar tidak macet di pintu keluar. "Ini agar jalan tol lancar, kalau tanpa ada pembatasan ya macet dan akibatnya tidak ada beda dengan biasa," katanya.