London (ANTARA News) - Ribuan demonstran membanjiri pusat kota London Sabtu siang waktu setempat dalam unjuk rasa menentang suara meninggalkan Uni Eropa yang telah menghempaskan Inggris kepada krisis politik dan ditentang oleh sebagian besar penduduk London.

Para demonstran kebanyakan kaum muda dan banyak yang membaluti tubuh mereka dengan bendera Uni Eropa, sedangkan yang lainnya mengenakan banner bertuliskan "Saya berada di UE" atau "Wrexit."

Mereka meneriakkan kata "jadi apa yang kita ingin lakukan? Tetap dalam UE," ketika bergerak ke distrik politik Westminster sambil menyanyikan lagu hit 1987 karya penyanyi Rick Astley "Never Gonna Give You Up" dan lagu Whitney Houston "I Will always Love You."

"Saya sungguh terguncang pada pagi setelah suara (mendukung Brexit pada referendum itu)," kata salah seorang demonstran bernama Nathaniel Samson (25) dari Hertfordshire di utara London.

"Saya merasa sangat tidak yakin dengan masa depan saya," sambung dia. "Saya menerima hasil referendum namun ini untuk menunjukkan kami tidak bisa menerimanya dengan diam-diam."

Yang lainnya orang Italia bernama Pamela Zoni (34) yang sudah tinggal enam tahun di Inggris mengaku kecewa atas hasil referendum dan berpikir ulang untuk menjadi warga negara Inggris.

"Saya menginginkan referendum kedua. Kampanye pertama didasarkan oleh kebohongan, dan marjinnya sangat tipis, itu bukan hasil yang fair," kata dia.

60 persen warga kota London memilih tetap bersama UE pada referendum Kamis pekan lalu itu dengan sebagian besar kaum muda mendukung tetap bersama Uni Eropa. Sedangkan total 52 persen warga Inggris Raya mendukung keluar dari Uni Eropa.

Penyelenggara demonstrasi, Kieran MacDermott yang lulusan King's College, berkata, "Kita tak bisa menahan Brexit dengan menolak menerima referendum sebagai kata terakhir dan menarik jari kita dari tombol penghancuran diri sendiri."

Menurut dia, parlemen semestinya memiliki kata terakhir mengenai apakah Inggris harus keluar dari Uni Eropa.

Hasil referendum itu sendiri meninggalkan pertarungan politik di dalam parpol berkuasa Konservatif untuk menggantikan Perdana Menteri David Cameron yang sudah menyatakan mengundurkan diri gara-gara hasil referendum itu.

Partai oposisi utama Partai Buruh juga saling bertempur antarsesamanya dengan banyak legislator dari partai ini menarik dukungan kepada pemimpin partai Jeremy Corbyn karena dianggap tidak memberikan kontribusi cukup dalam kampanye referendum, demikian Reuters.