Gerrard: masalah Inggris adalah warisan separuh abad tanpa trofi
29 Juni 2016 17:03 WIB
Roy Hodgson saat masih menangani Inggris berjalan di lapangan setelah laga imbang 0-0 Grup B Piala Eropa 2016 melawan Slowakia di stadion Geoffroy-Guichard, Saint-Etienne, Prancis, Senin (20/6/2-16). (AFP PHOTO/PAUL ELLIS)
Jakarta (ANTARA News) - Mantan kapten tim nasional Inggris, Steven Gerrard, ikut buka suara mengomentari tersingkirnya Inggris dari putaran final Piala Eropa 2016 Prancis setelah dihentikan oleh tim kejutan Islandia di babak 16 besar dengan kekalahan 1-2.
"Saya tidak bisa menerima penjelasan bahwa masalah sepak bola Inggris adalah pemainnya tidak cukup bagus. Argumen yang sama akan terus berulang setiap kali kami keluar dari turnamen bergengsi: Pemain yang dinilai berlebihan dan Liga Utama Inggris tidak sekuat yang dibayangkan," kata Gerarrd membuka kolomnya di Harian Telegraph terbitan Rabu setempat.
"Inggris gagal dengan cara terburuk pada Senin malam karena lemahnya pengambilan keputusan dan ketidakmampuan menyikapi sebuah peristiwa yang terjadi dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang terus berulang," ujarnya menambahkan.
Menurut Gerrard salah satu momen kuncinya adalah saat Islandia mencetak gol untuk mengungguli Inggris, keadaan tertinggal itu membuat pikiran para punggawa The Three Lions akan mulai terbebani tentang konsekuensi apa jika mereka kalah ketimbang memikirkan bagaimana kembali berkonsentrasi terhadap jalannya permainan.
"Saya benci mengatakan ini, tapi pikiran anda akan menciptakan situasi imajiner anda pulang ke tanah air dan hujan kritik yang didapatkan. Anda tak bisa menghentikannya," tutur Gerrard.
Sejak itu segalanya akan menjadi berantakan dan kemungkinan untuk mengatasinya sangat kecil.
Gerrard tak mengelak jika hal tersebut dikatakan sebagai tanda kerapuhan mental, namun ia lebih melihatnya sebagai warisan atas kegagalan Inggris menjuarai satu pun turnamen bergengsi dalam waktu separuh abad.
Terakhir kali Inggris menjuarai turnamen bergengsi adalah pada Piala Dunia 1966.
"Inggris bukanlah negara dengan tradisi menjuarai Piala Eropa ataupun Piala Dunia dan dampak psikologis hal tersebut nyata sebagai petunjuk utama masalah Inggris," katanya.
Ia menilai kegagalan di tingkat timnas jauh lebih sulit dibandingkan di level klub, sebab untuk klub waktu pemulihan hanya membutuhkan hitungan pekan atau bulan sedangkan kegagalan di timnas akan membutuhkan waktu dua tahun tampil konsisten untuk menjawab kritik.
Di sisi lain, media Inggris sendiri tidak memahami warisan psikologis separuh abad tanpa trofi tersebut sehingga selalu mengambil jarak sebagai kritikus yang tak pernah tanggung.
Menurut Gerrard selanjutnya FA mempunyai tugas besar untuk penunjukan pelatih baru menyusul mundurnya Roy Hodgson selepas kekalahan dari Islandia tersebut.
"Sebagai penggemar Inggris saya tak pernah merasa sesedih ini namun Inggris harus bersikap konstruktif demi memastikan itu tidak terjadi lagi," kata Gerrard.
"Dan (media Inggris) harus berhati-hati sebelum mendakwa Inggris tak punya bakat. Seharusnya kita merawat bakat yang ada, bukan membunuhnya," pungkas Gerrard.
"Saya tidak bisa menerima penjelasan bahwa masalah sepak bola Inggris adalah pemainnya tidak cukup bagus. Argumen yang sama akan terus berulang setiap kali kami keluar dari turnamen bergengsi: Pemain yang dinilai berlebihan dan Liga Utama Inggris tidak sekuat yang dibayangkan," kata Gerarrd membuka kolomnya di Harian Telegraph terbitan Rabu setempat.
"Inggris gagal dengan cara terburuk pada Senin malam karena lemahnya pengambilan keputusan dan ketidakmampuan menyikapi sebuah peristiwa yang terjadi dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang terus berulang," ujarnya menambahkan.
Menurut Gerrard salah satu momen kuncinya adalah saat Islandia mencetak gol untuk mengungguli Inggris, keadaan tertinggal itu membuat pikiran para punggawa The Three Lions akan mulai terbebani tentang konsekuensi apa jika mereka kalah ketimbang memikirkan bagaimana kembali berkonsentrasi terhadap jalannya permainan.
"Saya benci mengatakan ini, tapi pikiran anda akan menciptakan situasi imajiner anda pulang ke tanah air dan hujan kritik yang didapatkan. Anda tak bisa menghentikannya," tutur Gerrard.
Sejak itu segalanya akan menjadi berantakan dan kemungkinan untuk mengatasinya sangat kecil.
Gerrard tak mengelak jika hal tersebut dikatakan sebagai tanda kerapuhan mental, namun ia lebih melihatnya sebagai warisan atas kegagalan Inggris menjuarai satu pun turnamen bergengsi dalam waktu separuh abad.
Terakhir kali Inggris menjuarai turnamen bergengsi adalah pada Piala Dunia 1966.
"Inggris bukanlah negara dengan tradisi menjuarai Piala Eropa ataupun Piala Dunia dan dampak psikologis hal tersebut nyata sebagai petunjuk utama masalah Inggris," katanya.
Ia menilai kegagalan di tingkat timnas jauh lebih sulit dibandingkan di level klub, sebab untuk klub waktu pemulihan hanya membutuhkan hitungan pekan atau bulan sedangkan kegagalan di timnas akan membutuhkan waktu dua tahun tampil konsisten untuk menjawab kritik.
Di sisi lain, media Inggris sendiri tidak memahami warisan psikologis separuh abad tanpa trofi tersebut sehingga selalu mengambil jarak sebagai kritikus yang tak pernah tanggung.
Menurut Gerrard selanjutnya FA mempunyai tugas besar untuk penunjukan pelatih baru menyusul mundurnya Roy Hodgson selepas kekalahan dari Islandia tersebut.
"Sebagai penggemar Inggris saya tak pernah merasa sesedih ini namun Inggris harus bersikap konstruktif demi memastikan itu tidak terjadi lagi," kata Gerrard.
"Dan (media Inggris) harus berhati-hati sebelum mendakwa Inggris tak punya bakat. Seharusnya kita merawat bakat yang ada, bukan membunuhnya," pungkas Gerrard.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: