Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menginginkan agar surat utang negara berjangka waktu pendek sampai satu tahun (Surat Perbendaharaan Negara) dan juga instrumen utang swasta bertenor pendek lainnya, dapat lebih aktif diperdagangkan di pasar uang.

Pasalnya, nilai penerbitan instrumen utang di pasar uang masih sangat minim atau sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), padahal idealnya dapat mencapai 20 hingga 30 persen dari PDB, kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Rabu.

"Untuk memenuhi pembiayaan untuk target pertumbuhan ekonomi, pendanaan pemerintah, bank, atau korporasi tidak hanya bisa dari bank, namun juga obligasi, Maka itu, yang surat utang jangka pendek juga harus aktif," ujarnya.

Instrumen utang di pasar uang memiliki tenor pendek, atau paling lama 1 tahun. Hal ini berbeda dengan instrumen utang di pasar modal yang memiliki tenor panjang lebih dari satu tahun.

Untuk mendongkrak aktivitas penerbitan dan perdagangan surat utang bertenor satu tahun itu, BI akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Pasar Uang pada triwulan III 2016.

Mirza mencontohkan, salah satu instrumen pasar uang, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) relatif minim diterbitkan pemerintah. Pemerintah lebih aktif menerbitkan obligasi bertenor jangka panjang.

Padahal, menurut Mirza, penerbitan SPN dan juga instrumen utang jangka pendek lainnya dapat lebih efektif memperdalam atau mendiversifikasi pasar keuangan domestik. Dia meyakini peminatnya pun masih cukup banyak.

"Maka dari itu, dari PBI ini akan kita atur bagaimana nanti SPN bisa diperdagangkan, yang membeli bisa bank, korporasi," ujarnya.

Begitu juga dengan instrumen utang jangka pendek lainnya, seperti sertifikat deposit (NCD), surat utang komersial (commercial paper), surat kontrak kewajiban bayar (promissoy note) atau juga kegiatan jual beli surat utang (Repurchase Agreement/Repo).

Maka dari itu, PBI ini juga dibuat untuk mengatur obligasi bertenor panjang yang akan diperdagangkan di pasar uang, atau dalam jangka waktu yang pendek.

Mirza menjelaskan, untuk menjaga kepercayaan dan juga prinsip kehati-hatian, surat utang jangka pendek yang diterbitkan, termasuk juga oleh swasta, sebaiknya memiliki peringkat (rating) dari lembaga pemeringkat.

Hal tersebut untuk menghindari risiko seperti yang terjadi saat krisis ekonomi 1998. Aturan mengenai peringkat itu akan masuk dalam PBI, selain mengenai perjanjian, infrastruktur, dan juga instrumen surat utang jangka pendek.

"Nantinya kita harap, korporasi di Indonesia tidak hanya bergantung ke kredit (pinjaman) dari bank, tapi mulai bisa andalkan obligasi," ujarnya.