Damaskus (ANTARA News) - "Teman-teman saya menyebut saya gila ketika saya mengatakan saya akan pulang ke Suriah, tapi ketika saya tiba, saya mengatakan orang gila adalah orang yang berusaha jadi pengungsi di Eropa," kata Speiro Haddad

Speiro, juru foto yang berusia 25 tahun, adalah salah seorang dari ribuan warga Suriah yang berusaha mengungsi ke Eropa ketika semua jendela harapan ditutup di depan mata mereka.

Pria muda tersebut, yang memiliki tato besar di lengannya, mengatakan ia tidak melihat impian yang ada di benaknya untuk pergi ke Eropa adalah impian nyata ketika ia tiba di sana.

Ia menyatakan ia tak bisa bertahan lebih lama dari lima bulan di Austria, negara tempat ia mengajukan suaka.

"Nasib buruk saya membuat saya berakhir di satu kamp bersama pengungsi dari Afghanistan, Yaman, Iran dan Suriah. Dan sebagian besar dari mereka memandang saya dengan cara aneh sebab tato saya dan sebab saya minum alkohol, kondisi yang membuat saya tidak merasa nyaman," katanya.

Ia mengatakan ia tidak merasa memiliki dengan masyarakat pengungsi tempat ia menetap, selain kekecewaannya dengan situasi pengungsi pada umumnya.

"Sebelum meninggalkan Suriah, saya memiliki impian tinggal di Eropa untuk memperbaiki keadaan saya dan karena Eropa sejak dulu telah menjadi impian. Tapi ketika saya tiba di sana, semuanya tidak sesempurna seperti yang saya bayangkan. Sedikit uang dengan dasar bulanan dan kenyataan menjadi pengungsi berarti saya adalah manusia kelas dua, dan saya tak bisa seperti itu untuk waktu lama," katanya.

"Sekalipun rumah saya di Kabupaten Jobar di dekat Damaskus hancur, saya mendapati negara saya adalah pilihan terbaik buat saya. Saya menyadari itu setelah sampai di Eropa," kata Speiro, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam.

Ia mengatakan banyak pengungsi Suriah di Eropa ingin pulang, kalau saja mereka memiliki kesempatan, karena perlakuan yang relatif buruk yang mereka terima di kamp pengungsi di sana, apalgi prosedur panjang buat pemukiman kembali gara-gara sangat banyaknya pencari suaka.

Di sisi lain, orang dari dalam Suriah telah mulai menahan diri dari mengungsi ke Eropa, setelah "mereka mendengar cerita mengenai kualitas jelek kehidupan pengungsi".

"Saya tidak lagi berfikir Eropa adalah impian yang saya ingin kejar setelah mendengar cerita teman-teman yang saya kenal mengenai perlakuan buruk yang diterima pengungsi di beberapa kamp di Eropa," kata Bernar Juma, warga Suriah yang berusia 38 tahun dan mengelola kafe di wilayah kuni di Ibu Kota Suriah, Damaskus.

Bernar adalah salah satu orang yang menjual semua yang mereka miliki agar bisa pergi ke Eropa. Ia sudah mulai menjual beberapa alat musik yang ia pajang di kafenya, sebelum menyadari bahwa ia akan kehilangan sangat banyak dengan meninggalkan negerinya.

"Sampai akhir 2015, saya merasa kematian sangat dekat, terutama di Kabupaten Bab Tuma --yang menjadi sasaran pemboman mortir setiap hari oleh gerilyawan. Dan pada saat itu, fikiran untuk pergi menggelayuti benak saya dan saya benar-benar sudah memutuskan untuk pergi," katanya.

Bernar mengatakan gencatan senjata, yang telah dicapai di dekat Damaskus di bawah penengahan Rusia dan Amerika Serikat, telah membuat dia berfikir kembali mengenai keputusannya. Dan cerita yang ia dengar dari teman-temannya, yang sudah pergi ke Eropa, adalah dorongan tambahan untuk mengubah keputusannya.

Pada Februari, kesepakatan gencatan senjata dicapai di beberapa kota besar Suriah, tapi terlihat jelas gencatan senjata berjalan di dekat Damaskus. Belakangan, banyak pengamat mengatakan kerusuhan di dekat ibu kota Suriah tersebut turun sampai 50 persen sebagai hasil dari gencatan senjata, dan daerah seperti Bab Tuma serta Qassa --yang berdekatan dan telah menderita serangan mortir yang berulangkali oleh gerilyawan-- telah pulih dan meraih kembali sebagian daya-pesona yang hilang.

Sekarang Bernar dan istrinya telah sepenuhnya memperbaiki kafe mereka di salah satu jalan sempit di Bab TUma, dan sepenuhnya menghapuskan fikiran untuk pergi.

(Uu.C003)