Jakarta (ANTARA News) - Pengamat telematika menilai penawaran layanan telepon Rp1 per detik dari Indosat Ooredoo bisa merusak kompetisi di pasar seluler untuk area luar Jawa, karena cenderung "predatory pricing" atau penetapan harga rendah untuk mematikan pesaing.

"Salah satu ciri dari predatory pricing adalah menjual di bawah harga produksi untuk mematikan pesaing. Praktik pemasaran Rp1 per detik bisa merusak bisnis seluler dalam jangka panjang," kata Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi di Jakarta, Jumat.

Menurut Ridwan, dalam kajiannya pada triwulan pertama 2016, pendapatan per menit dari layanan suara untuk Indosat Rp136,7 per menit, Telkomsel Rp168,5/menit, dan XL Rp213,4/menit.

Padahal dalam menerapkan Rp1 per detik ke seluruh operator, Indosat diperkirakan mengalami rugi Rp190/menit karena Indosat memberikan tarif retail di bawah biaya interkoneksi Rp250/menit. Kondisi ini sudah berlangsung sejak Nov-Des 2015.

"Praktik-praktik anti persaingan ini yang harus dicermati regulator," katanya.

Padahal, Telkomsel walaupun banyak membangun di luar Jawa dan pelosok negeri hingga perbatasan, tarifnya masih lebih rendah dibanding operator lainnya yang hanya membangun di daerah yang menguntungkan.

"Membangun di area yang kurang menguntungkan itu ada masa kerugian sebelum BTS dapat memperoleh keuntungan. Tarif Rp 1 itu sudah berjalan lima bulan. Sepertinya rencana akuisisi sejuta pelanggan yang didengungkan tak berhasil, akhirnya keluarlah kampanye yang dianggap negatif itu," kata Ridwan.

Sebelumnya, industri seluler heboh dengan aksi Indosat yang melakukan kampanye negatif menyerang skema tarif milik Telkomsel di luar Jawa.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU Syarkawi Rauf mengaku akan mendalami implementasi tarif Rp 1/detik milik Indosat ini.

"Kita mau lihat harga ini wajar baik dari sisi periklanan? Kalau logika iklan ada perhitungannya sendiri. Atau ini jual rugi untuk merusak pasar? Kalau iya maka itu masuk dalam indikasi pelanggaran. Tapi kita akan mendalami lagi, termasuk predatory pricing atau tidak," katanya

Sedangkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan dalam melihat penawaran operator telekomunikasi kualitas berbanding lurus dengan harga atau tarif. "Jangan sampai tarif murah tapi kota besar yang mendapat layanan, sementara daerah pelosok blank spot," kata Tulus.