London (ANTARA News) - Pendukung keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (UE), dikenal juga dengan "Brexit", tampak unggul dalam hasil referendum yang telah dihitung pada Jumat, menyebabkan nilai pound jatuh di pasar global.
Nilai mata uang Inggris turun sebanyak sembilan persen, menembus nilai terendah selama 30 tahun terakhir, yaitu di bawah 1,35 dolar Amerika Serikat, lapor Reuters.
Jatuhnya nilai tersebut dianggap lebih parah dibanding peristiwa "Rabu Hitam" pada 1992 saat George Soros, seorang investor, berperan penting menurunkan nilai pound hingga jatuh mendahului nilai Euro via Mekanisme Nilai Tukar.
Terkait reaksi publik internasional atas peristiwa itu, diplomat senior mata uang Jepang, Masatsugu Asakawa, mengungkap ia akan berkonsultasi dengan Menteri Keuangan Taro Aso demi menghadapi dinamika pasar yang keadaannya dinilai cukup berat.
Para pelaku pasar telah menyesuaikan diri guna menghadapi "Brexit", misalnya laman Betfair telah memprediksi kemungkinan unggulnya opsi keluar dari UE sebesar 94 persen.
Hasil tersebut dinilai akan mengguncang stabilitas UE serta berpotensi membangkitkan gerakan anti-UE di Eropa.
Bahkan, proses pemisahan selama dua tahun nantinya akan memberi banyak ketidakpastian bagi perusahaan dan para penanam modal.
Referendum yang melibatkan 282 dari 382 wilayah pungutan suara, termasuk Irlandia Utara menunjukkan, opsi keluar UE unggul sebanyak 51,6 persen dibanding oposisinya senilai 48,4 persen.
"Saya kini berani bermimpi, fajar yang baru akan tiba menyambut kemerdekaan Inggris Raya (UK)," ujar Nigel Farage, pemimpin Partai Kemerdekaan Inggris Raya yang anti-UE.
Farage turut mendesak pengunduran diri Perdana Menteri Inggris David Cameron usai referendum tersebut.
Sebelumnya, Cameron mendorong warga Inggris Raya agar tetap berada di UE.
Ia mengingatkan, keluar UE akan berakibat buruk bagi perdagangan dan investasi, menyebabkan resesi, menjatuhkan nilai tukar pound, dan meningkatkan harga kebutuhan.
Akan tetapi, pendukung "Brexit" berdalih, keluar dari UE justru dapat menguatkan sektor perekonomian negara itu karena akan bebas dari aturan birokrasi Uni Eropa yang memberatkan.
Bahkan, keluar dari UE dianggap mampu memulihkan kembali kedaulatan Inggris Raya serta mengambil alih kontrol atas imigrasi.
Sebanyak 27 mitra Britania di UE tampak khawatir menunggu hasil referendum, mengingat dampak keluarnya negara kekuatan ekonomi besar kedua di blok tersebut akan melemahkan kesatuan Eropa serta berpengaruh pada stabilitas UE di tengah krisis keuangan Yunani dan arus besar kedatangan pengungsi.
Hasil referendum tampak berbeda dari prediksi jajak pendapat yang sebelumnya dilakukan.
Jajak pendapat pada tempo lalu memprediksi opsi pro-UE akan unggul sekitar 70 persen, utamanya melihat hasil pungutan suara di bagian timur laut Inggris, Hartlepool dan wilayah dekat London, Basildon.
Meski demikian, para pendukung EU di Skotlandia diragukan mampu mengimbangi hasil referendum tersebut.
Walau begitu, sebanyak 76 persen suara di Distrik Haringey, London memilih untuk tetap di UE.
"Ada suara yang tampaknya tidak puas dengan hasil itu," kata John McDonnell, juru bicara keuangan dari pihak oposisi, Partai Buruh yang memilih tetap di UE, tetapi dituduh tak berbuat banyak memobilisasi kubu pendukungnya di wilayah utara.
"Masyarakat prihatin atas ketegangan akibat referendum ini, berikut dampaknya atas gaji mereka yang dapat dibekukan selama kurang lebih tujuh tahun. Banyak orang mulai mengeluh, dan kita harus mulai mendengarkan suara tersebut."
Pengamat politik ternama dan penyelenggara jajak pendapat, John Curtice berujar, "saat ini, kami menguasai lebih banyak wilayah yang mendukung untuk keluar UE daripada tetap menjadi anggota blok tersebut, jika pola ini terus berlanjut, maka opsi untuk keluar tampaknya akan unggul dalam hasil referendum."
"Pukulan Keras"
Pasar uang telah mengikuti hasil jajak pendapat yang pro-UE, dan mempertimbangkan komentar para pendukung anti-UE terkait kemungkinan kekalahan mereka di referendum.
Profesor Vernon Bogdanor, ahli politik yang sempat menjadi dosen Cameron di Universitas Oxford menyatakan dalam siaran televisi BBC bahwa kemungkinannya pihak yang anti-UE akan menang.
"Siapapun tak dapat mengelak kemungkinan itu sebagai pukulan keras bagi kemapanan Inggris karena tiga pemimpin partai, pengusaha, dan pemimpin di sektor keuangan memilih untuk pro-UE. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat tidak mengikuti saran tersebut," terangnya.
Opsi keluar UE menunjukkan kemunduran proses integrasi negara Eropa ke puluhan tahun yang lalu, sekaligus menandai suatu negara merdeka dapat memisahkan diri dari blok itu untuk pertama kalinya.
Opsi anti-UE juga akan membuka kembali retakan yang sempat pulih akibat krisis finansial dan masalah pengungsi.
Kampanye terkait "Brexit" bahkan turut mempengaruhi proses pemilihan presiden di Amerika Serikat, khususnya setelah insiden pembunuhan politisi Inggris Raya pro-UE, Jo Cox yang ditembak dan ditusuk di jalan pekan lalu.
Opsi "Brexit" dianggap sebagai hantaman keras bagi karir Cameron yang mengusulkan referendum dan mengajak warga Inggris Raya untuk pro-UE, dan menentang kelompok anti-UE yang dipimpin rivalnya dari Partai Konservatif.
"Terima kasih untuk tiap orang yang memilih untuk membuat Britania tetap kuat, aman, dan lebih baik tetap di UE - begitu juga dengan para pendukung pro-UE lain di Inggris Raya," kata Cameron dalam Facebook-nya.
Surat yang ditandatangani 84 legislator dari Partai Konservatif yang skeptis terhadap UE (eurosceptic) nyatanya meminta Cameron agar tetap menjadi perdana menteri apapun hasil referendumnya kelak.
Aksi itu merupakan langkah pertama untuk memulihkan hubungan yang sempat retak dengan partai penguasa sejak kampanye itu pertama kali dilakukan.
Pihak yang turut menandatangani surat itu, diantaranya pendukung ternama "Brexit", Boris Johnson, mantan walikota London, dan Michael Gove, seorang anggota parlemen dan teman baik Cameron.
Terlepas sikap setia yang ditunjukkan untuk Cameron, ia tetap akan menghadapi tekanan mundur sebagai PM jika ditentang dan didesak publik Inggris Raya.
(Uu. KR-GNT/M016)
Pound jatuh jelang "Brexit"
24 Juni 2016 21:33 WIB
Perdana Menteri Inggris David Cameron juga menjadi salah satu pemimpin negara yang tersandung skandal "Panama Papers" (Reuters)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: