Jakata (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Tito Karnavian pada 8 Juni 2016 di Sydney Australia menyampaikan serangan teroris yang terjadi saat ini merupakan gelombang kedua aksi teroris yaitu neksus (gabungan) antara jaringan Al Qaeda dan Al-Jamaah Islamiyah.

Jamaah Islamiyah adalah jaringan teroris satu-satunya yang aktif di kawasan melingkupi Malaysia, Indonesia, Filipina bagian Selatan, hingga beberapa daerah di Australia. Kekuatan neksus tersebut karena ketersediaan ideologi, keuangan dan senjata.


Tito mengemukakan hal tersebut ketika menjadi salah satu pembicara pada "Australia-Indonesia Ministerial Council on Law and Security".




Tito yang kini calon tunggal Kapolri, adalah anggota rombongan pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.

Mereka bertemu dengan Jaksa Agung Australia George Brandis Menteri Kehakiman yang juga Menteri Khusus Urusan Terorisme Michael Keenan mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty yang saat ini menjawab sebagai Koordinator Badan Nasional Anti Terorisme Australia.

Menurut Tito Karnavian, gelombang kedua teroris ditandai dengan berjayanya kelompok ISIS mulai 2013 yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi di Suriah dan Irak dan merupakan amalgamasi (percampuran dua elemen) tauhid jihad Irak yaitu Al-Qaeda in Iraq (AQI) dan bekas tentara Saddam Husein.

ISIS mengokupasi wilayah yang tidak bertuan secara hukum karena kerumitan politik internal Suriah yang terbagi atas sejumlah kepentingan. Begitu pula negara-negara besar terbagi karena ada yang membela pemerintah Surian dan ada yang mendukung kaum pemberontak.

"Serangan di Jakarta jelas menunjukkan bahwa hal itu bukan inisiatif lokal tapi sepenuhnya tindakan ISIS yang ingin menciptakan Paris attack di Jakarta. Serangan itu bahkan diinisiasi oleh teroris yang dipenjara di Nusa Kambangan," jelas Tito.

Strategi Berlapis
Untuk menangani dan juga mencegah serangan teror, maka Indonesia pun harus meyakinkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia dan juga Inggris untuk bersatu melawan ISIS.

Suriah saat ini dinilai dapat menjadi "melting pot" bagi organisasi-organisasi teroris dan dapat menciptakan jaringan global teroris yang baru.

Pemerintah mencatat setidaknya sudah terkonfirmasi hampir 500 orang Indonesia sudah berangkat ke Suriah dan sekitar 150 orang lain belum terkonfirmasi, sehingga total ada lebih dari 600 orang Indonesia bergabung dengan ISIS.

Namun pendekatan yang dilakukan menurut Tito tetap menempatkan "law enforcement strategy" sebagai yang utama dan "soft approach" untuk mengatasi ideologi teroris.

"Penegak hukum tetap di garis depan tapi didukung dengan intelijen dan militer di belakang. Kami menggunakan law enforcement led strategy sehingga HAM tetap dilindungi karena semuanya berdasarkan proses hukum yang dibawa ke pengadilan. Pertarungan kami bukan hanya menangkap di lapangan saja tapi juga di pengadilan sehingga publik puas dan HAM ditegakkan," tambah Tito.

Pencegahan terhadap perekrutan untuk bergabung ke ISIS antara lain dilakukan dengan mencegah orang dengan prinsip hijrah dan jihad pergi ke Suriah.

Cara selanjutnya adalah mengubah ideologi. Pemerintah perlu mengundang ulama atau orang-orang bekas anggota kelompok agar meyakinkan ke anggota yang masih aktif bahwa Suriah bukan tempat untuk hijrah.

Selain itu aparat juga membangun jaringan intelijen, baik BIN maupun BAIS, untuk mendeteksi mereka yang ingin direkrut dan pergi ke Suriah. Jaringan kerja sama juga diperluas ke negara-negara transit seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, Turki karena kebanyakan mereka pergi ke Suriah melalui Turki dan menggunakan maskapai penerbangan Turki.

Hal yang tidak kalah penting adalah membekukan rekening kelompok teroris sehingga memotong keuangan mereka.



Setidaknya sudah ada 30 rekening individu dan 5 kelompok termasuk rekening Al Jamaah Islamiyah, Al Haramain Foundation Indonesia, Jammaah Anshorut Tauhid (JAT), Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) yang merupakan organisasi sayap Jamaah Islamiyah dan Mujahidin Indonesia Timur yang dibekukan.

Strategi lain adalah dengan pengelompokan para terpidana teroris menjadi tiga kelompok yaitu "hardliner" bagi mereka yang sangat kuat ideloginya seperti Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurahman; kelompok kedua adalah mereka yang militan tapi masih bisa diubah ideloginya seperti pelaku Bom Bali Imam Samudera dan ketiga adalah kelompok pendukung yang memberikan dukungan informasi, perlindungan hingga keuangan tapi dapat diubah ideologinya dengan menggunakan pendekatan lunak.

Memahami level radikal para pelaku teror sangat penting karena motif itu yang nantinya menentukan pendekatan yang akan diterapkan kepada mereka. Adapun sejumlah motif para pelaku teror adalah (1) motif spiritual, (2) motif emosional misalnya balas dendam dan (3) motif materialisme karena mereka dijanjikan akan mendapat gaji besar di Suriah.

Setelah mengetahui motif maka proses konseling deradikalisasi dapat dilakukan dengan lebih tepat, misalnya bila motif pelaku teror adalah materi maka disediakan kursus keahlian atau lapangan kerja bagi para mantan teroris.



Bila motifnya adalah emosional atau spritual, BNPT menggunakan pendekatan agama dan budaya yang dengan berkeja sama dengan NU dan Muhammadiyah.

Selepas dari penjara, para mantan pelaku teror dan keluarga inti mereka juga harus tetap dimonitor oleh kelompok khusus yang terdiri dari para peneliti, intelijen dan psikolog. Memang tidak mungkin mereka semua bisa diubah tapi setidaknya sudah ada 20-25 orang yang telah mengalami deradikalisasi.

Dalam pertemuan itu, Tito pun meminta secara khusus agar Australia dapat memberikan bantuan keahlian dan kapasitas dalam bidang intelijen dan teknologi informasi untuk memonitor keuangan jaringan teroris.

Respon Australia
Menteri Kehakiman yang juga Menteri Khusus Urusan Terorisme Michael Keenan menyatakan perhatian pemerintah Australia adalah agar neksus tersebut tidak berkembang. Ia juga menyatakan bahwa terorisme adalah musuh bersama Australia dan Indonesia sehingga perlu penanganan dengan cara kerja sama.

"Kita menghadapi organisasi teroris di Timur Tengah yang secara jelas menyatakan perang terhadap negara-negara lain dan menyerang teman dan tetangga kita. Kerja sama ini adalah untuk merespon ancaman bersama tapi dengan cara saling bekerja sama. Ini adalah kesempatan kami juga untuk belajar mengenai penerapan hukum, kerja intelijen dan kami akan terus berkolaborasi sehingga dapat mengatasi ancaman bersama ini," kata Michael.

Apalagi saat ini ada 110 warga Australia yang yang terkait dengan kelompok teroris di Suriah, 190 warga Australia yang diperiksa karena diduga mendukung kelompok ISIS termasuk dengan memberikan bantuan keuangan atau mencoba untuk pergi ke Irak dan Suriah.

"Kami perkirakan perlawanan ISIS tetap akan terjadi tahun ini. Sejumlah warga Australia ada yang pergi bergabung menjadi pasukan ISIS dan sudah kami data. Kami mencoba untuk menerapkan law enforcement bagi mereka yang bergabung ke organissi teroris, yang perlu kita lakukan adalah menghentikan orang untuk pergi ke sana termasuk dengan mencabut paspor mereka," jelas Michael.

Setidaknya ada 175 paspor warga Australia yang dibekukan karena terkait dengan konflik Suriah dan Irak.

Indonesia dan Australia sama-sama tidak imun terhadap aksi teroris dan sama-sama harus bekerja keras untuk menumpas teror yang membahayakan warga masing-masing negara.