200 polisi disiagakan pascabentrok di pertambangan Bengkulu
12 Juni 2016 23:46 WIB
Kapolda Bengkulu Brigjen Pol M Ghufron (kanan) bersama sejumlah personel TNI dan kepolisian serta pekerja tambang meninjau lobang galian bawah tanah milik PT Cipta Buana Seraya (CBS) pascaaksi unjuk rasa pada Sabtu (11/6/2016) lalu, di Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, Minggu (12/6/2016). (ANTARA FOTO/David Muharmansyah)
Bengkulu (ANTARA News) - Kepolisian Daerah Bengkulu menyiagakan 200 personel polisi di Desa Lubuk Unen Baru, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu pascabentrok antara ratusan warga penolak aktivitas tambang batu bara milik PT Citra Buana Seraya dengan aparat kepolisian.
"Selama tujuh hari ke depan, sebanyak 200 personel bersiaga di sini sampai kondisi benar-benar kondusif," kata Kepala Kepolisian Daerah Bengkulu Brigjen Pol M Ghufron di sela meninjau lokasi bentrok di Desa Lubuk Unen, Minggu.
Bentrok antara warga yang menuntut penutupan operasi tambang bawah tanah atau "underground" dengan aparat kepolisian itu terjadi pada Sabtu (11/6) siang.
Warga dari 12 desa di Kecamatan Sindang Merigi dan Kecamatan Sindang Kelingi, Bengkulu Tengah mencoba masuk ke kamp perusahaan yang berada di Desa Lubuk Unen Baru.
Saat anggota polisi berupaya menghadang warga yang bergabung dalam Forum Rejang Gunung Bungkuk memasuki lokasi pertambangan, kericuhan pecah.
Akibatnya, dari catatan warga, delapan orang warga sipil tertembak di mana empat orang atas nama Marta Dinata, Yudi, Alimuan dan Badrin harus dilarikan ke rumah sakit.
Seorang korban tertembak di bagian perut atas nama Marta Dinata masih dalam kondisi kritis.
Korban jatuh tidak hanya dari pihak warga, seorang anggota polisi juga mengalami luka cukup serius dan masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara.
Meski dalam peristiwa tersebut sejumlah warga tertembak, Kapolda menilai tindakan para personel kepolisian sudah sesuai prosedur.
"Nanti akan didalami bagaimana kericuhan bisa pecah, kepolisian punya rekaman video," ucapnya.
Penolakan warga 12 desa terhadap aktivitas pengerukan batu bara di wilayah itu sudah berlangsung cukup lama. Pada April 2016, ratusan warga sudah mendatangi kantor bupati setempat untuk meminta pemerintah menutup pertambangan itu.
"Kami khawatir dampak galiannya akan merusak kebun dan membuat desa kami ambles," kata Ketua Forum Rejang Gunung Bungkuk, Nurdin.
Menurut Nurdin, wilayah Bengkulu yang rawan gempa semakin membuat warga khawatir dengan pengeboran yang dinilai akan mempengaruhi struktur tanah di wilayah mereka.
Tuntutan warga yang belum ditindaklanjuti pemerintah daerah membuat aksi unjuk rasa terus berlanjut. Puncaknya, Sabtu (11/6) warga mendatangi lokasi penambangan untuk menutup aktivitas tambang itu dan berujung bentrok dengan aparat kepolisian.
"Selama tujuh hari ke depan, sebanyak 200 personel bersiaga di sini sampai kondisi benar-benar kondusif," kata Kepala Kepolisian Daerah Bengkulu Brigjen Pol M Ghufron di sela meninjau lokasi bentrok di Desa Lubuk Unen, Minggu.
Bentrok antara warga yang menuntut penutupan operasi tambang bawah tanah atau "underground" dengan aparat kepolisian itu terjadi pada Sabtu (11/6) siang.
Warga dari 12 desa di Kecamatan Sindang Merigi dan Kecamatan Sindang Kelingi, Bengkulu Tengah mencoba masuk ke kamp perusahaan yang berada di Desa Lubuk Unen Baru.
Saat anggota polisi berupaya menghadang warga yang bergabung dalam Forum Rejang Gunung Bungkuk memasuki lokasi pertambangan, kericuhan pecah.
Akibatnya, dari catatan warga, delapan orang warga sipil tertembak di mana empat orang atas nama Marta Dinata, Yudi, Alimuan dan Badrin harus dilarikan ke rumah sakit.
Seorang korban tertembak di bagian perut atas nama Marta Dinata masih dalam kondisi kritis.
Korban jatuh tidak hanya dari pihak warga, seorang anggota polisi juga mengalami luka cukup serius dan masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara.
Meski dalam peristiwa tersebut sejumlah warga tertembak, Kapolda menilai tindakan para personel kepolisian sudah sesuai prosedur.
"Nanti akan didalami bagaimana kericuhan bisa pecah, kepolisian punya rekaman video," ucapnya.
Penolakan warga 12 desa terhadap aktivitas pengerukan batu bara di wilayah itu sudah berlangsung cukup lama. Pada April 2016, ratusan warga sudah mendatangi kantor bupati setempat untuk meminta pemerintah menutup pertambangan itu.
"Kami khawatir dampak galiannya akan merusak kebun dan membuat desa kami ambles," kata Ketua Forum Rejang Gunung Bungkuk, Nurdin.
Menurut Nurdin, wilayah Bengkulu yang rawan gempa semakin membuat warga khawatir dengan pengeboran yang dinilai akan mempengaruhi struktur tanah di wilayah mereka.
Tuntutan warga yang belum ditindaklanjuti pemerintah daerah membuat aksi unjuk rasa terus berlanjut. Puncaknya, Sabtu (11/6) warga mendatangi lokasi penambangan untuk menutup aktivitas tambang itu dan berujung bentrok dengan aparat kepolisian.
Pewarta: Helti M Sipayung
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016
Tags: