BNPT: Sulsel jadi wilayah perkembangan radikalisme
Ilustrasi. Dua Teroris Poso Tewas. Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Rudy Sufahriadi menunjukkan foto dua teroris Poso yang ditembak mati oleh Satgas Operasi Tinombala di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Selasa (17/5/2016). Kedua teroris itu masing-masing bernama Firman alias Aco alias Ikrima dan Yazid alias Taufik yang masuk dalam DPO dan merupakan anggota kelompok Santoso. Keduanya tewas setelah terlibat kontak senjata dengan Satgas Operasi Tinombala di Desa Pantangolemba, Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso pada Minggu (15/5/2016). (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
"Ideologi radikal berkembang pesat di Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa hampir seluruh wilayah ada kelompok radikalisme, kalau di luar Pulau Jawa ada di Sumatera, Lampung khususnya serta di Sulawesi Selatan," kata dia.
Baru-baru ini ada seorang guru perempuan di Sulawesi Selatan yang bergabung dengan kelompok terorisme Suriah karena membaca sebuah buku.
"Saat ini dia berada di Turki, dia bergabung kepada kelompok teroris setelah membaca buku berjudul 'Aqidah'. Dia juga meninggalkan anak beserta suaminya untuk ke Suriah dan bergabung dengan ISIS," kata dia.
Dia mengatakan ISIS memang pandai melakukan perekrutan, propaganda dan hasutan dengan mengandalkan media terutama media sosial.
Direktur Pencegahan BNPT Hamidin menjalaskan, awal gerakan radikalisme di Sulawesi Tengah adalah saat terjadi perang agama di Poso.
"Itulah kesempatan mereka untuk masuk, kemudian mereka menggunakan pendekatan sedarah dengan cara mengawini anak ulama di tempat tersebut," kata Hamidin.
Dengan menikahi anak ulama setempat, maka mereka lebih gampang menyebarkan ideologinya kepada masyarkat.
Salah satu kelompok radikal yang meresahkan di Poso adalah kelompok Santoso.
Saat ini Indonesia masih terus mengejar Santoso dan kawan-kawannya, pertahanan kelompok Santoso pun kian lama kian melemah karena jalur logistiknya telah terputus.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016