Jakarta (ANTARA News) - Sidang putusan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, ditunda.

Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Ibnu Basuki, di Jakarta, Kamis, menyebutkan alasan penundaan karena rapat musyawarah hakim belum selesai sehingga putusan belum bisa dibacakan.

Sidang dengan agenda pembacaan putusan kepada Nazaruddin rencananya akan digelar pada Rabu (15/6).

Pengacara Nazaruddin, Elsa Syarief, berharap putusan yang adil bagi kliennya, terutama terkait pengembalian barang-barang milik Nazaruddin.

"Terutama keadilan terhadap barang-barang, kembalikan barang-barang miliknya, yang sah milik Nazaruddin dan yang tidak terkait dengan perkara," kata Elsa.

Nazaruddin dijerat dengan dua pasal, yaitu gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang. Jaksa Penuntut Umum dari KPK menuntut agar Nazaruddin dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Perbuatan Nazaruddin dianggap melanggar tiga pasal berlapis yaitu pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP; pasal 3 atau pasal 4 UU UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP; dan pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dalam dakwaan pertama, Nazaruddin dinilai terbukti menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya Rp23,119 miliar dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan Rp17,250 miliar dari PT Nindya Karya.

Penerimaan tersebut karena sudah ada kesepakatan Nazar dengan PT DGI untuk mendapatkan fee sebesar 21-22 persen dari nilai kontrak sehingga Nazaruddin mau untuk memperlancar proyek sejak proses penganggaran dan pelelangan dengan cara memberikan fee kepada satuan kerja dan panitia pengadaan sehingga PT DGI dan PT Nindya Karya.

Pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbutki melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp627,86 miliar selama periode 2010-2014 yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan Nazaruddin sebagai anggota DPR.

Untuk menyamarkan Nazaruddin melakukan perbuatan membuka rekening perusahaan-perusahaan di bawah Permai Grup sebanyak 42 rekening, pembelian tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan saham antara lain pembelian saham PT Garuda Indonesia (persero) Tbk senilai total 298.036.000 lembar berjumlah Rp163,918 miliar, saham PT Bank Mandiri senilai total 7.651.500 lembar berjumlah Rp40,14 miliar, saham Krakatau Steel, saham PT Bank Negara Indonesia, serta sukuk yang ditotal sekitar Rp300 miliar.

Sedangkan dakwaan ketiga, Nazaruddin dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp283,599 miliar selama periode 2009-2010 dengan cara menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp50,205 miliar; dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp33,194 miliar; dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikannya) senilai Rp200,265 miliar.