"Data yang kita acu itu data BPS, kalau dibilang tidak percaya lalu siapa lagi? Tapi bagaimana acuannya?" katanya.
Menurut Supit, data BPS masih sarat kepentingan pejabat setempat seperti bupati, gubernur hingga tingkat menteri sehingga besar kemungkinan ada penyelewengan angka.
Bahkan dari data USDA sepanjang 2015-2016 yang dikutip, menyebutkan ada kelebihan lebih dari 1 juta ton beras, di mana pemerintah mengklaim 18 juta ton surplus. "Ini di mana surplusnya?" ujarnya.
Lebih lanjut, Supit mengatakan, sistem perekonomian Indonesia sudah mengarah pada sistem "ekonomi komando" sebagaimana terjadi di negara komunis, yaitu China dan Rusia. Salah satu indikasinya, instruksi harga daging sapi harus Rp80.000/kg, sementara saat ini harganya terus merangkak naik di atas Rp120.000/kg.
"Kita ini ekonomi pasar tapi tidak diatur baik. Tidak bisa juga diinstruksi daging Rp80.000, ini contoh inkonsistensi pemerintah," katanya.
"Kita jangan fatal melakukan kesalahan melawan lasar seperti Rusia dan China. Coba cek berapa stok beras nasional yang didukung APBN? Tak cukup kalau terjadi paceklik. Kesalahan kesemrawutan ini datang dari pemerintah akibat perencanaan yang tidak jelas," katanya.
Ketua Forum Tani Indonesia, Wayan Supadno, dalam kesempatan sama, meminta para pejabat terkait berani jujur dalam mengumpulkan data pangan demi pertanian masa depan.
Menurut dia, pertanian merupakan kunci peradaban manusia di masa depan. Banyak ahli memetakan bahwa air, energi, dan pangan menjadi sumber utama konflik dunia yang bisa menjadi konflik bersenjata terbuka antar negara dan kawasan.
"Ibarat dokter, ini terjadi diagnosa yang salah. Akhirnya resepnya salah, ujungnya tidak berhasil karena datanya salah," ucapnya.