BPK laporkan enam temuan masalah selama 2015
6 Juni 2016 12:13 WIB
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan Ketua BKP Harry Azhar Aziz (kanan) disela penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2015 di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/6/2016). (ANTARA FOTO/Setpres/Cahyo/pus/foc/16)
Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan enam temuan masalah dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015, kata Ketua BPK Harry Azhar Aziz saat menyampaikan LKPP 2015 kepada Presiden di Istana Negara Jakarta, Senin.
"Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan tehasap ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Harry.
Masalah ini adalah saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1.800,93 triliun yang di antaranya sebesar Rp848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya pada 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu padahal OJK mewajibkan PLN menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
"Sebagai akibatnya BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada," kata Harry.
Temuan kedua adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar, termasuk pajak dikurangi subsidi tetap, sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana itu.
Temuan ketiga adalah menyangkut piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Temuan keempat adalah persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.
Temuan keenam adalah koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas Rp96,53 triliun dan transaksi antarentitas sebesar Rp53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
"Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang," kata Harry.
"Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan tehasap ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Harry.
Masalah ini adalah saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1.800,93 triliun yang di antaranya sebesar Rp848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya pada 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu padahal OJK mewajibkan PLN menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
"Sebagai akibatnya BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada," kata Harry.
Temuan kedua adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar, termasuk pajak dikurangi subsidi tetap, sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana itu.
Temuan ketiga adalah menyangkut piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Temuan keempat adalah persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.
Temuan keenam adalah koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas Rp96,53 triliun dan transaksi antarentitas sebesar Rp53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
"Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang," kata Harry.
Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016
Tags: