Pengamat: tarif tebusan tinggi repatriasi modal tak optimal
5 Juni 2016 18:59 WIB
Raker Potensi Tax Amnesty. Gubernur BI Agus Martowardojo (kanan) berbincang dengan Wakil Ketua Komisi XI DPR Marwan Cik Asan (kiri) sebelum rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/5/2016). Rapat tersebut membahas potensi penerimaan hasil pengampunan pajak atau Tax Amnesty dan repatriasi modal. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat perpajakan menilai sukses tidaknya repatriasi modal ke Tanah Air sangat tergantung pada tarif tebusan pengampunan pajak, bila tarif tebusan tinggi bisa membuat wajib pajak kalangan UKM maupun pengusaha enggan mengikutinya.
"Bila tebusan terlalu tinggi, bisa dipastikan tidak akan laku oleh para investor dan penanam modal," kata Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronni Bako di Jakarta, Minggu.
Sebelumnya, beberapa fraksi mengusulkan tarif tebusan repatriasi yang tinggi, misalnya Nasdem mengusulkan 5-6 persen, Gerindra 6,7,8 persen, PAN 9 -11 persen, PPP 5-7,5 persen, PKS 17 persen, Demokrat sesuai KUP, Hanura 5- 9 persen dan PDI 5-7 persen.
Di sisi lain, pemerintahan Argentina juga tengah menyodorkan RUU tax amnesty ke kongres dengan besaran tarif 0 hingga 15 persen tergantung besar kecilnya nilai dana yang direpatriasi, dengan target dana 500 miliar dolar AS.
Menurutnya, terkait nilai yang paling ideal untuk tarif pajak tebusan repatriasi sebenarnya bisa berada di kisaran 0 sampai 5 persen.
"Karena bila terlalu tinggi, untung dari negara sangat sedikit. Misalnya 8 persen, dengan nilai 8 persen, negara hanya bisa meraup keuntungan dari pajak sekitar 20 sampai 30 persen. Namun bila negara memberikan syarat sekitar 2 sampai 3 persen atau maksimal 5 persen, negara bisa meraup keuntungan atau pemasukan sekitar 70 sampai 80 persen, ini logika yang sangat sederhana seperti logika dagang," kata dia.
Ronni Bako menegaskan kembali bahwa bila tarif tebusan repatriasi dipatok di atas 5 persen, hal itu tidak menarik para pengusaha. Karena logikanya, lanjut dia jika uang tebusan di atas 5 persen pemerintah harus menanggung banyak konsekuensi. Salah satunya, target pemasukan dari tax amnesty tidak akan tercapai. Kemudian target pajak yang ada dalam APBN tidak akan tercapai juga.
"Ini pasti akan timbul bobot utang baru atau belanja pemerintah dikurangi. Jadi merembetnya ke macam-macam. Apalagi target pajak juga sudah direvisi, tapi meskipun sudah direvisi itu tidak tercapai terus," kata dia
Bila sudah seperti itu konsekuensinya hanya dua, yakni negara harus melakukan utang baru atau belanja negara yang dikurangi. "Dengan demikian kesejahteraan rakyat terganggu," katanya.
Sementara itu, Pengamat perpajakan Tax Center Dani Darussalam mengatakan, DPR harus berhati-hati dalam memberikan saran dan memutuskan soal tarif tebusan tax amnesty. Karena jika tarif terlalu tinggi, maka akan mengakibatkan tax amnesty tidak akan laku di Indonesia.
Apalagi, tax amnesty ini erat kaitannya dengan tujuan besarnya yakni membangun ekonomi Indonesia menjadi lebih maju karena uang yang masuk bisa menggerakkan perekonomian dalam negeri.
Dia mengatakan DPR harus memandang uang tebusan ini hanya sebagai konsep, bukan yang utama. Jangan sampai gara-gara kita bermain di tarif tujuan besar tax amnesty tidak tercapai.
"Jadi percuma kita membuat kebijakan ini. Kalau tarifnya tinggi, ya mending tidak usah diberlakukan sekalian," kata Darussalam.
Dia mengatakan juga, salah satu fitur apakah tax amnesty ini akan berhasil atau tidak adalah subjek tarif. Jadi ketika menentukan tarif, harus dikaitkan dengan tujuan besar tax amnesty itu apa.
"Karena kalau yang saya tangkap, tujuan besar, ingin bawa pulang uang repatriasi, perbaiki data pajak yang mana data itu untuk dipakai mengawasi perilaku wajib pajak yang akan datang," kata dia.
"Bila tebusan terlalu tinggi, bisa dipastikan tidak akan laku oleh para investor dan penanam modal," kata Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronni Bako di Jakarta, Minggu.
Sebelumnya, beberapa fraksi mengusulkan tarif tebusan repatriasi yang tinggi, misalnya Nasdem mengusulkan 5-6 persen, Gerindra 6,7,8 persen, PAN 9 -11 persen, PPP 5-7,5 persen, PKS 17 persen, Demokrat sesuai KUP, Hanura 5- 9 persen dan PDI 5-7 persen.
Di sisi lain, pemerintahan Argentina juga tengah menyodorkan RUU tax amnesty ke kongres dengan besaran tarif 0 hingga 15 persen tergantung besar kecilnya nilai dana yang direpatriasi, dengan target dana 500 miliar dolar AS.
Menurutnya, terkait nilai yang paling ideal untuk tarif pajak tebusan repatriasi sebenarnya bisa berada di kisaran 0 sampai 5 persen.
"Karena bila terlalu tinggi, untung dari negara sangat sedikit. Misalnya 8 persen, dengan nilai 8 persen, negara hanya bisa meraup keuntungan dari pajak sekitar 20 sampai 30 persen. Namun bila negara memberikan syarat sekitar 2 sampai 3 persen atau maksimal 5 persen, negara bisa meraup keuntungan atau pemasukan sekitar 70 sampai 80 persen, ini logika yang sangat sederhana seperti logika dagang," kata dia.
Ronni Bako menegaskan kembali bahwa bila tarif tebusan repatriasi dipatok di atas 5 persen, hal itu tidak menarik para pengusaha. Karena logikanya, lanjut dia jika uang tebusan di atas 5 persen pemerintah harus menanggung banyak konsekuensi. Salah satunya, target pemasukan dari tax amnesty tidak akan tercapai. Kemudian target pajak yang ada dalam APBN tidak akan tercapai juga.
"Ini pasti akan timbul bobot utang baru atau belanja pemerintah dikurangi. Jadi merembetnya ke macam-macam. Apalagi target pajak juga sudah direvisi, tapi meskipun sudah direvisi itu tidak tercapai terus," kata dia
Bila sudah seperti itu konsekuensinya hanya dua, yakni negara harus melakukan utang baru atau belanja negara yang dikurangi. "Dengan demikian kesejahteraan rakyat terganggu," katanya.
Sementara itu, Pengamat perpajakan Tax Center Dani Darussalam mengatakan, DPR harus berhati-hati dalam memberikan saran dan memutuskan soal tarif tebusan tax amnesty. Karena jika tarif terlalu tinggi, maka akan mengakibatkan tax amnesty tidak akan laku di Indonesia.
Apalagi, tax amnesty ini erat kaitannya dengan tujuan besarnya yakni membangun ekonomi Indonesia menjadi lebih maju karena uang yang masuk bisa menggerakkan perekonomian dalam negeri.
Dia mengatakan DPR harus memandang uang tebusan ini hanya sebagai konsep, bukan yang utama. Jangan sampai gara-gara kita bermain di tarif tujuan besar tax amnesty tidak tercapai.
"Jadi percuma kita membuat kebijakan ini. Kalau tarifnya tinggi, ya mending tidak usah diberlakukan sekalian," kata Darussalam.
Dia mengatakan juga, salah satu fitur apakah tax amnesty ini akan berhasil atau tidak adalah subjek tarif. Jadi ketika menentukan tarif, harus dikaitkan dengan tujuan besar tax amnesty itu apa.
"Karena kalau yang saya tangkap, tujuan besar, ingin bawa pulang uang repatriasi, perbaiki data pajak yang mana data itu untuk dipakai mengawasi perilaku wajib pajak yang akan datang," kata dia.
Pewarta: Budi Suyanto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: