UU Pilkada dinilai masih lemah
5 Juni 2016 16:39 WIB
Mendagri Tjahjo Kumolo (kanan) menyerahkan draft revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kepada Ketua Rapat Taufik Kurniawan (tengah) disaksikan Ketua DPR Ade Komaruddin (kedua kiri), serta Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (kiri) dan Fadli Zon (kedua kanan) untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2016).(ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Hasil revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disetujui pemerintah dan DPR pada Kamis (2/6) masih dianggap lemah dan perlu diperbaiki.
Kelemahan pertama berkaitan dengan perbaikan syarat calon kepala daerah yang diatur dalam pasal 7 UU tersebut dimana rekomendasi larangan kepada seseorang yang berstatus tersangka untuk maju sebagai calon kepala daerah, tidak jadi disepakati oleh pemerintah dan DPR.
"Padahal poin ini penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat," kata Koordinator Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi publik di Jakarta, Minggu.
Kedua, terkait dengan keharusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melakukan konsultasi melalui rapat dengar pendapat dengan DPR dalam penyusunan peraturan pilkada, yang kemudian keputusannya bersifat mengikat.
Menurut Fadli, ketentuan ini merusak prinsip kemandirian KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen.
"Tidak ada satu pun lembaga independen yang harus mengonsultasikan peraturan yang dibuat lembaganya kepada DPR karena sudah ada ruang untuk menguji peraturan yang bertentangan dengan UU melalui judicial review ke Mahkamah Agung," kata dia.
Selain itu, forum konsultasi teknis penyelenggaraan pilkada ini juga dianggap sarat kepentingan politik di mana kader-kader partai yang duduk di DPR terkesan ingin menunjukkan dominasinya terhadap penyelenggaraan pemilu sekaligus terhadap calon independen.
Untuk itu, Perludem dan beberapa organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pilkada Berintegritas mendesak KPU dan Bawaslu menguji ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Model konsultasi yang sifatnya mengikat ini harus diantisipasi sejak sekarang melalui judicial review dan yang bisa melakukan cuma KPU dan Bawaslu karena mereka punya legal standing," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz.
Kelemahan pertama berkaitan dengan perbaikan syarat calon kepala daerah yang diatur dalam pasal 7 UU tersebut dimana rekomendasi larangan kepada seseorang yang berstatus tersangka untuk maju sebagai calon kepala daerah, tidak jadi disepakati oleh pemerintah dan DPR.
"Padahal poin ini penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat," kata Koordinator Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi publik di Jakarta, Minggu.
Kedua, terkait dengan keharusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melakukan konsultasi melalui rapat dengar pendapat dengan DPR dalam penyusunan peraturan pilkada, yang kemudian keputusannya bersifat mengikat.
Menurut Fadli, ketentuan ini merusak prinsip kemandirian KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen.
"Tidak ada satu pun lembaga independen yang harus mengonsultasikan peraturan yang dibuat lembaganya kepada DPR karena sudah ada ruang untuk menguji peraturan yang bertentangan dengan UU melalui judicial review ke Mahkamah Agung," kata dia.
Selain itu, forum konsultasi teknis penyelenggaraan pilkada ini juga dianggap sarat kepentingan politik di mana kader-kader partai yang duduk di DPR terkesan ingin menunjukkan dominasinya terhadap penyelenggaraan pemilu sekaligus terhadap calon independen.
Untuk itu, Perludem dan beberapa organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pilkada Berintegritas mendesak KPU dan Bawaslu menguji ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Model konsultasi yang sifatnya mengikat ini harus diantisipasi sejak sekarang melalui judicial review dan yang bisa melakukan cuma KPU dan Bawaslu karena mereka punya legal standing," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016
Tags: