Jakarta (ANTARA News) - Keasyikan dan hingar bingar dunia hiburan kadang membuat seorang seniman menjadi terlena, seperti yang dialami Edwin (38), pemusik Talempong asal Padang ini mengaku sampai "lupa" kawin (berkeluarga). "Memang asyik sih, karena memang saya suka musik, tapi ya begitu, sampai aku lupa kawin," kata Edwin yang mengakhiri kalimatnya dengan tertawa, ketika ditemui di sela-sela Malaysian Association of Tour and Travel Agents (MATTA) Fair 2007 di Kuala Lumpur belum lama ini. Tetapi, bukan berarti tiada keprihatinan dalam dunia seni yang ditekuni lelaki yang mengaku nenek moyangnya juga seniman Minang (Minangkabau) ini, sehingga ia melupakan kewajibannya sebagai Muslim yakni membina rumah tangga. Selain karena keasyikannya berseni, Edwin dengan terus terang juga memaparkan keengganannya berkeluarga karena alasan ekonomi. Sebuah alasan klasik, namun patut menjadi pertimbangan semua orang jika dikaitkan dengan sosok Edwin yang seringkali mewakili Indonesia di pentas-pentas seni mancanegara. Dalam kegiatan MATTA Fair 2007, lelaki ini bersama belasan lainnya yang tergabung dalam Sanggar Sofyani, juga memakili delegasi Indonesia untuk event pariwisata bergengsi di Asean ini. Sebagaimana seniman tradisional Indonesia pada umumnya, lelaki yang sudah setengah umur dan bertubuh kurus itu juga mengaku penghasilannya pas-pasan. Untuk satu kali tampil, Edwin dan rekan-rekannya yang berjumlah minimal 15 orang, hanya dibayar Rp10 juta, meski semua biaya transportasi dan akomodasi selama manggung ditanggung oleh pengundang. Sebuah angka yang kecil untuk dibagi-bagi dengan rekan setimnya, itu pun belum tentu ia dapatkan dalam sebulan sekali. "Tapi ya mau nggak mau, selain karena saya suka kehidupan ini, pekerjaan lain juga tidak saya dapatkan," katanya. Jika tidak ada undangan untuk mewakili Indonesia di luar negeri, mengharapkan uang dari penampilannya di daerahnya Sumatera Barat, juga sedikit kesempatan. "Sekarang banyak saingan, sanggar-sanggar kecil sudah banyak bermunculan di sana dan siapa saja yang punya uang bisa mendirikan sanggar. Terlebih mereka memasang tarif lebih murah," keluhnya. Walau demikian, bujangan yang telah menekuni dunianya selama sekira 10 tahun ini, tetap merasa bangga karena sanggar tempat ia bergabung sudah melegenda dan diperhitungkan di dunia kesenian Minang. "Elly Kasim dulu 'kan alumni sanggar kita," katanya dengan bangga. Ungkapan kebanggaan Edwin itu, sesaat kemudian berganti lagi dengan ungkapan keprihatinan ketia ia mengeluhkan masih rendahnya penghargaan terhadap karya seni dan seniman di tanah air. Dari penampilannya di berbagai daerah di Indonesia maupun di negara-negara Asean lainnya, Edwin mengaku kurang mendapatkan penghargaan yang layak, tidak hanya dari segi materi, tetapi juga penghormatan terhadap seni itu sendiri. "Saya merasa tampil di luar Asean, seperti di Kanada beberapa waktu lalu jauh lebih dihargai, apalagi di Eropa, yang setiap kali kita manggung, mereka berdiri penuh hormat memberikan up louse," kata Edwin menceritakan pengalamannya. Mengakhiri ceritanya, Edwin yang mengaku pernah bekerja sebagai (pengisi suara) di sebuah rumah produksi di Jakarta itu berharap penghargaan terhadap seni dan seniman di tanah air, akan seindah di negara-negara belahan Eropa. Dalam pameran pariwisata MATTA Fair di Kuala Lumpur 14-18 Maret 2007, rombongan kesenian dari Sumatera Barat termasuk Edwin, diberi kesempatan tampil dalam pembukaan yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata Malaysia Datuk Tengku Adnan bin Tengku Mansor. Selama kegiatan itu berlangsung, mereka juga berkesempatan tampil tiga kali sehari.