Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat membantah anggapan bahwa Simposium Tragedi 1965 yang digelar 18-19 April 2016 di Jakarta memfasilitasi jalan kebangkitan komunisme di Indonesia.
"Tentu tidak membuka jalan PKI karena kami menyerukan kebenaran sejarah untuk gambaran komprehensif," kata Imdadun usai ditemui di Pusdiklat BPK RI, Jakarta, Kamis.
Ia menegaskan Simposium 1965-1966 jangan disalahpahami sebagai jalan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) atau upaya menghidupkan kembali komunisme, Marxisme, dan Leninisme karena dalam simposium tersebut tujuannya adalah mengawali proses rekonsiliasi.
Imdadun mengatakan simposium tersebut merupakan langkah awal pengungkapan sejarah dan penyelesaian hubungan yang tidak harmonis di masa lalu serta wujud keinginan untuk berhenti mewariskan kebencian.
"Jangan dipahami sama dengan membangkitkan lahirnya PKI, kita harus kritis terhadap ideologi yang tidak demokratis," kata dia.
Pada Simposium Tragedi 1965, Komnas HAM mengusulkan penyesalan negara kepada korban, bukan kepada partai, organisasi, atau pelaku pemberontakan. Korban yang dimaksud oleh Komnas HAM tersebut adalah orang-orang yang dihukum tanpa proses pengadilan yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Kami minta untuk alamat penyesalan negara kepada korban, jadi tidak ada pretensi apakah PKI akan dibangkitkan. Dan larangan tentang komunisme, Marxisme, dan Leninisme akan dicabut adalah kewenangan politik pemerintah," kata Imdadun.
Sementara itu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo membantah pula tudingan yang muncul dalam simposium nasional antikomunisme yang menyebut pemerintah membuka jalan kebangkitan PKI.
"Tidak betul, tidak betul sama sekali," kata Agus.
Dia tidak mau menanggapi persoalan kebangkitan PKI yang diwacanakan sejumlah ormas karena, menurut dia, hal tersebut bukan kewenangan Lemhannas.
Komnas HAM bantah simposium 1965-1966 bangkitkan komunisme
2 Juni 2016 18:10 WIB
Imdadun Rahmat (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Pewarta: Calvin Basuki
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: