Jakarta (ANTARA News) - BPJS Ketenagakerjaan mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) rata-rata Rp50 miliar hingga Rp55 miliar setiap hari pada periode Januari-Maret 2016 yang mengakibatkan filosofinya berubah dari bekal di hari tua menjadi jaring pengaman saat ini.

"Meningkatnya pencairan dana JHT itu terjadi setelah terbitnya Permenaker No.19/2015 dan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja," kata Direktur Perluasan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan EIlyas Lubis dalam Dialog Nasional bersama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan perubahan regulasi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No.46/2015 yang berlaku 1 Juli 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua memungkinkan pekerja untuk mencairkan dana JHT tanpa melihat masa kepesertaan.

Sebelumnya, pencairan dana JHT dibolehkan setelah masa kepesertaan lima tahun satu bulan. Berlakunya PP No.60/2015 tentang Perubahan atas PP No.46/2015 dengan turunannya Permenaker No.19/2015 merupakan faktor utama meningkatnya permintaan klaim JHT di hampir seluruh Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan.

Data yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan, rata-rata 7.500 pengajuan klaim JHT per hari sejak bulan November 2015 hingga Maret 2016. Kasus pencairan tersebut meningkat 266 persen dari sebelum Permenaker No 19 diberlakukan.

Sebanyak 5 persen dari para pekerja yang mengundurkan diri dan melakukan pencairan JHT itu kembali bekerja. Dari 42.041 peserta yang bekerja kembali setelah mencairkan JHT, ternyata sebanyak 6.003 kembali bekerja di perusahaan yang sama, sisanya bekerja di perusahaan lain.

"Artinya, tabungan masa depan mereka dihabiskan, padahal itu sangat berguna sebagai bekal modal atau keperluan lain di masa tua nanti," ujar Ilyas.

Pencairan dana JHT didominasi oleh pekerja bermasa kepesertaan 1-5 tahun dan 5-10 tahun yang mana para peserta tersebut berada dalam usia produktif untuk bekerja.

Selain itu, saldo JHT pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang akan dirasakan signifikansinya saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun.

Dilihat dari kelompok kerja, rata-rata peserta non aktif memiliki saldo yang relatif kecil dibanding kelompok kerja lainnya. Kesimpulannya adalah tenaga kerja non aktif berasal dari golongan yang memiliki upah rendah.