Indonesia sebaiknya bisa tingkatkan peringkat penerbangan nasional
30 Mei 2016 18:06 WIB
Dokumentasi dua perempuan berbusana daerah khas Tapanuli Utara menyambut kedatangan pesawat CRJ 1000 Garuda Indonesia seusai penerbangan perdana dari Jakarta ke Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Selasa (22/3). Indonesia tengah terus mendorong kemajuan industri penerbangan nasional dengan sejumlah ikutannya. (ANTARA FOTO/Lucky R)
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perhubungan tengah menggelar pertemuan menteri-menteri perhubungan negara-negara anggota ICAO, di Denpasar, dengan salah satu agenda mendukung Indonesia ke kursi Dewan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) masa bakti 2016-2019. Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, menilai hal yang lebih pokok juga berasal dari penentuan kebijakan dan strategi penerbangan di dalam negeri.
“Misalnya bagaimana meningkatkan peringkat FAA, dan lepas dari larangan Uni Eropa, dan bagaimana Indonesia bisa mengambil posisi kerja sama yang tidak merugikan negara dalam masalah hubungan internasional di penerbangan,” katanya, kepada www.antaranews.com, dari Hamburg, Jerman, Senin.
Penerbangan sebagai entitas industri di Tanah Air, bertumbuh demikian pesat dan cepat. Sejumlah bandara pokok dan besar Tanah Air telah direnovasi untuk menjawab keperluan itu, di antaranya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang saat dibangun pada 1986 disiapkan untuk 25 juta pemakai jasa penerbangan setahun dan kini disiapkan untuk 66 juta pemakai jasa penerbangan setahun.
Akan tetapi, sudah berkali-kali Indonesia tidak mendapat dukungan dari anggota-anggota ICAO untuk menjadi anggota Dewan ICAO.
Pada sisi lain, pertumbuhan jumlah armada pesawat terbang juga bertumbuh amat sangat pesat. Lion Air Group, sebagai misal, yang menandatangani kontrak pembelian hingga 497 pesawat terbang dari berbagai ukuran dan tipe. Inilah maskapai penerbangan nasional paling gigantis dalam target kepemilikan armada pesawat terbangnya.
Sejumlah kebijakan penerbangan juga ditata ulang pihak regulator (pemerintah), di antaranya memberi ijin penerbangan langsung ke bandara kecil dari bandara besar.
Pemerintah memberi target pengembangan infrastruktur penerbangan hingga 2019, yang angkanya adalah 19 bandara pengembangan pada 2015, pengembangan 132 lokasi bandara (57 di area rawan bencana, 49 area terpencil dan 26 area perbatasan) serta pengembangan 27 terminal penumpang di bandara.
Menurut pemerintah, Indonesia saat ini meraih skor untuk standar keselamatan ICAO (USOAP) sebesar 70 persen dari 45,33 persen pada Mei 2014 dan skor standar keamanan ICAO (USAP) 94,9 persen. Juga bahwa mulai Maret ini Indonesia juga terpilih sebagai anggota Komite Perlindungan Lingkungan Penerbangan.
Kementerian Perhubungan juga telah menerbitkan 13.504 izin terbang secara online, 8.164 izin terbang untuk penerbangan tak berjadwal dan 599 izin rute.
Menanggapi hal-hal ini, Gerry menyatakan, pemerintah sebaiknya meninjau peraturan-peraturan baru yang cenderung bersifat insuler dan bisa dibaca sebagai penerapan nasionalisme yang berlebihan. “Karena hal-hal itu membuat Indonesia tidak populer di kancah internasional,” kata dia.
Dia memberi contoh regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66/2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadual Luar Negeri Dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke dan Dari Wilayah Indonesia.
Dia juga menyinggung beberapa pasal pada UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, yang dia nilai harus dimutakhirkan.
“Misalnya bagaimana meningkatkan peringkat FAA, dan lepas dari larangan Uni Eropa, dan bagaimana Indonesia bisa mengambil posisi kerja sama yang tidak merugikan negara dalam masalah hubungan internasional di penerbangan,” katanya, kepada www.antaranews.com, dari Hamburg, Jerman, Senin.
Penerbangan sebagai entitas industri di Tanah Air, bertumbuh demikian pesat dan cepat. Sejumlah bandara pokok dan besar Tanah Air telah direnovasi untuk menjawab keperluan itu, di antaranya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang saat dibangun pada 1986 disiapkan untuk 25 juta pemakai jasa penerbangan setahun dan kini disiapkan untuk 66 juta pemakai jasa penerbangan setahun.
Akan tetapi, sudah berkali-kali Indonesia tidak mendapat dukungan dari anggota-anggota ICAO untuk menjadi anggota Dewan ICAO.
Pada sisi lain, pertumbuhan jumlah armada pesawat terbang juga bertumbuh amat sangat pesat. Lion Air Group, sebagai misal, yang menandatangani kontrak pembelian hingga 497 pesawat terbang dari berbagai ukuran dan tipe. Inilah maskapai penerbangan nasional paling gigantis dalam target kepemilikan armada pesawat terbangnya.
Sejumlah kebijakan penerbangan juga ditata ulang pihak regulator (pemerintah), di antaranya memberi ijin penerbangan langsung ke bandara kecil dari bandara besar.
Pemerintah memberi target pengembangan infrastruktur penerbangan hingga 2019, yang angkanya adalah 19 bandara pengembangan pada 2015, pengembangan 132 lokasi bandara (57 di area rawan bencana, 49 area terpencil dan 26 area perbatasan) serta pengembangan 27 terminal penumpang di bandara.
Menurut pemerintah, Indonesia saat ini meraih skor untuk standar keselamatan ICAO (USOAP) sebesar 70 persen dari 45,33 persen pada Mei 2014 dan skor standar keamanan ICAO (USAP) 94,9 persen. Juga bahwa mulai Maret ini Indonesia juga terpilih sebagai anggota Komite Perlindungan Lingkungan Penerbangan.
Kementerian Perhubungan juga telah menerbitkan 13.504 izin terbang secara online, 8.164 izin terbang untuk penerbangan tak berjadwal dan 599 izin rute.
Menanggapi hal-hal ini, Gerry menyatakan, pemerintah sebaiknya meninjau peraturan-peraturan baru yang cenderung bersifat insuler dan bisa dibaca sebagai penerapan nasionalisme yang berlebihan. “Karena hal-hal itu membuat Indonesia tidak populer di kancah internasional,” kata dia.
Dia memberi contoh regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66/2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadual Luar Negeri Dengan Pesawat Udara Sipil Asing Ke dan Dari Wilayah Indonesia.
Dia juga menyinggung beberapa pasal pada UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, yang dia nilai harus dimutakhirkan.
Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016
Tags: