Jakarta (ANTARA News) - Atas dasar argumen penegakan hukum, Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Badrodin Haiti, menginginkan institusinya menjadi pemimpin dalam pemberantasan terorisme. Di mata penegak hukum, terorisme diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum pidana.


Ini diatur dalam revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sementara ada UU Nomor 34/2004 tentang TNI yang mengatur pemberantarasan terorisme oleh militer, terkhusus pada pasal 6 dan 7 UU Nomor 34/2004 itu.




Bahkan Markas Besar TNI sudah memiliki Komando Operasi Khusus TNI yang terdiri dari pasukan elit kontra terorisme dan operasi-kontra operasi intelijen dari Detasemen Jala Mangkara TNI AL, Detasemen B-90 Bravo Komando Pasukan Khas TNI AU, dan Komando Pasukan Khusus TNI AD.

Menurut sudut pandang kepolisian, sebagaimana dikatakan Haiti pada seminar nasional terkait revisi UU Terorisme digagas Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Hanura DPR, di Jakarta, Senin, secara institusi agen penindakan adalah Kepolisian Indonesia sehingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam lingkup kerja pencegahan dan pemulihan.

Dia menyamakan keadaan yang sama dengan "susunan dan kedudukan" Badan Narkotika Nasional (BNN) yang di bawah koordinasi Kepolisian Indonesia sehingga BNN --kini dipimpin Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso yang sering membuat terobosan-- tidak bisa melakukan penegakan hukum.

"BNN di luar negeri tidak pernah melakukan penindakan hukum karena di bawah koordinasi kepala kepolisian setempat," ujar Haiti memberi argumen. Dia tidak mengungkap penegakan hukum yang dimaksud. Amerika Serikat memiliki Drugs Enforcement Agency yang mengurusi hal ini dan boleh menindak jaringan penyelundup narkoba di sana.

Dari sisi peraturan dan perundangan, dia menyumbang revisi UU Terorisme, yaitu memasukkan pasal-pasal penegakan hukum terhadap orang-orang yang merencanakan aksi terorisme.

"Termasuk masalah persiapan aksi terorisme, selama ini tidak bisa melakukan tindakan. Misalnya warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan di luar negeri, mereka kena pasal apa?," katanya.

Dalam seminar itu, anggota Panitia Khusus Terorisme DPR, Sarifudin Sudding, mengatakan, mereka sepakat terorisme kejahatan luar biasa sehingga penanganannya harus luar biasa.

Anggota Fraksi Hanura itu menilai revisi UU Terorisme tidak sebatas usulan dari pemerintah saja namun,
"Semua pihak harus diberikan peran dalam pemberantasan terorisme."