Jakarta (ANTARA News) - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), menyoroti beberapa klausul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim, salah satunya terkait sistem perekrutan hakim.

“Salah satu poin krusial dari RUU Jabatan Hakim ini terkait dengan perbaikan sistem rekrutmen jabatan hakim. Usulan dari FDHI bahwa untuk menjabat sebagai hakim, tidak lagi fresh-graduate melainkan seorang sarjana hukum yang sudah memiliki pengalaman profesional sebagai advokat, notaris maupun konsultan dari perusahaan,” kata anggota Baleg Arsul Sani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dalam keterang tertulis Humas DPR, Selasa

Politisi Fraksi PPP ini mengutarakan lebih lanjut, seorang lulusan sarjana hukum harus bekerja lima hingga tujuh tahun agar bisa mendaftar untuk menjadi hakim. Selanjutnya, Arsul juga menjelaskan tentang kewenangan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, kewenangan dan tugas kedua lembaga tersebut perlu dibenahi kembali melalui RUU ini.

“Koordinasi MA dan KY sering tumpang tindih, nah ini yang akan ditata, karena mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri maka pembentuk undang-undang atau legislator harus menyelesaikan ini, melalui RUU jabatan hakim,” paparnya.

Selain itu, dalam RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo, dibahas aspek lainnya seperti pengurangan masa pensiun hakim agung yang sebelumnya 70 tahun menjadi 65 tahun. Demikian juga usia hakim tinggi dan hakim utama akan dibatasi menjadi 60 tahun.

Menurut Firman (F-Golkar), klausul pembatasan usia tersebut didasari oleh pertimbangan kemampuan fisik dan daya ingat seseorang akan menurun setelah memasuki usia lanjut. “Tentunya tadi ada perdebatan mengenai pasal itu karena usia 70 tahun, mohon maaf pengalaman oke tetapi tidak bisa dipungkiri juga tingkat daya ingat dan sebagainya patut menjadi perhatian kita,” jelas Firman.