Menkeu: perekonomian global buat pajak isu internasional
23 Mei 2016 22:22 WIB
Menkeu Bambang Brodjonegoro memberikan sambutan dan arahan saat membuka International Conference on Tax, Insvestment and Business (ICTIB) 2016 di Jakarta, Senin (23/5/2016). Konferensi tersebut bertujuan mencapai target pemerintah untuk meningkatkan "tax ratio" di Indonesia dari 11,5 persen pada tahun 2014 menjadi 16 persen di tahun 2019, serta membahas isu terkini terkait perpajakan, regulasi pengampunan pajak (tax amnesty), serta investasi di Indonesia maupun di negara-negara Asia Pasifik. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/16)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan perkembangan ekonomi global perlahan-lahan membuat isu pajak menjadi isu internasional.
"Karena di masa lalu pajak itu dianggap isu domestik, masing-masing negara tentunya sibuk dengan urusan pajaknya baik di dalam bentuk mengumpulkan pajaknya, kebijakan pajaknya, dan bagaimana pajak bisa merangsang investasi sekaligus juga bisa menjaga penerimaan negara, itu adalah ide pajak secara tradisional" kata Bambang di Jakarta, Senin.
Hal tersebut, dia sampaikan dalam sambutannya di acara "International Conference on Tax, Investment, and Business 2016" di kantor Kemenkeu, Jakarta.
Apalagi, kata Menkeu, saat ini di dunia, kita kenal makin banyak perusahaan multinasional di mana perusahaan besar itu kemudian beroperasi di banyak negara.
"Sehingga timbul pertanyaan apakah perusahaan multinasional tersebut sudah membayar pajak dengan benar di masing-masing negara di mana mereka melakukan investasi," ujarnya.
Kedua, tentunya kata Menkeu, dengan keterbukaan transaksi keuangan semakin global maka pergerakan modal atau "capital flow" itu menjadi sangat ketat dan mudah berpindah tidak hanya di dalam instrumen keuangan tetapi juga berpindah antar negara.
"Ini tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri ketika berbicara di mana transaksi pajaknya karena perputaran yang begitu cepat," tuturnya.
Selanjutnya, ketiga, Menkeu menjelaskan bahwa belakangan ini yang makin membuat masalah pajak menjadi lebih kompleks adalah munculnya "digital economy".
Menurutnya, ekonomi yang kita kenal selama ini adalah ekonomi yang jelas wujudnya, fisiknya, dan transaksinya juga jelas.
"Kalau kita berbelanja ke pasar, membeli barang maka jelas barang apa yang kita dapat, harganya, dan berapa pajaknya yang dibayar, ternyata sekarang dengan luar biasanya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi internet dan sebagainya maka lahir transaksi yang selama ini dalam benak kita adalah transaksi yang fisik yang riil menjadi transaksi dunia maya," ujarnya.
Ia mengatakan transaksi di dunia maya komplikasinya yang pertama adalah tempat transaksinya tersebut di mana.
"Ketika anda misalnya membuka situs, katakan anda memesan tiket pesawat ketika membeli tiket itu transaksinya apakah di Indonesia karena anda sebagai orang Indonesia yang memesan tiket suatu maskapai penerbangan asing atau transaksi itu terjadi di negara tempat maskapai itu bermarkas. Ini baru contoh yang simpel belum lagi komplikasi yang lain karena makin maraknya transaksi online," ucap Menkeu.
"Karena di masa lalu pajak itu dianggap isu domestik, masing-masing negara tentunya sibuk dengan urusan pajaknya baik di dalam bentuk mengumpulkan pajaknya, kebijakan pajaknya, dan bagaimana pajak bisa merangsang investasi sekaligus juga bisa menjaga penerimaan negara, itu adalah ide pajak secara tradisional" kata Bambang di Jakarta, Senin.
Hal tersebut, dia sampaikan dalam sambutannya di acara "International Conference on Tax, Investment, and Business 2016" di kantor Kemenkeu, Jakarta.
Apalagi, kata Menkeu, saat ini di dunia, kita kenal makin banyak perusahaan multinasional di mana perusahaan besar itu kemudian beroperasi di banyak negara.
"Sehingga timbul pertanyaan apakah perusahaan multinasional tersebut sudah membayar pajak dengan benar di masing-masing negara di mana mereka melakukan investasi," ujarnya.
Kedua, tentunya kata Menkeu, dengan keterbukaan transaksi keuangan semakin global maka pergerakan modal atau "capital flow" itu menjadi sangat ketat dan mudah berpindah tidak hanya di dalam instrumen keuangan tetapi juga berpindah antar negara.
"Ini tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri ketika berbicara di mana transaksi pajaknya karena perputaran yang begitu cepat," tuturnya.
Selanjutnya, ketiga, Menkeu menjelaskan bahwa belakangan ini yang makin membuat masalah pajak menjadi lebih kompleks adalah munculnya "digital economy".
Menurutnya, ekonomi yang kita kenal selama ini adalah ekonomi yang jelas wujudnya, fisiknya, dan transaksinya juga jelas.
"Kalau kita berbelanja ke pasar, membeli barang maka jelas barang apa yang kita dapat, harganya, dan berapa pajaknya yang dibayar, ternyata sekarang dengan luar biasanya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi internet dan sebagainya maka lahir transaksi yang selama ini dalam benak kita adalah transaksi yang fisik yang riil menjadi transaksi dunia maya," ujarnya.
Ia mengatakan transaksi di dunia maya komplikasinya yang pertama adalah tempat transaksinya tersebut di mana.
"Ketika anda misalnya membuka situs, katakan anda memesan tiket pesawat ketika membeli tiket itu transaksinya apakah di Indonesia karena anda sebagai orang Indonesia yang memesan tiket suatu maskapai penerbangan asing atau transaksi itu terjadi di negara tempat maskapai itu bermarkas. Ini baru contoh yang simpel belum lagi komplikasi yang lain karena makin maraknya transaksi online," ucap Menkeu.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: