Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut modus utama yang sering digunakan dalam kasus-kasus korupsi bidang pendidikan adalah penggelapan hingga mencapai 132 kasus dengan kerugian negara Rp518,7 miliar.

"Penggelapan adalah modus yang sering digunakan karena bias, dan biasanya terkait pengadaan fiktif atau juga kegiatan operasional fiktif," kata staf investigasi ICW Wana Alamsyah di Jakarta, Selasa.

Sedangkan modus mark up menjadi modus kedua tertinggi yang dilakukan oleh tersangka korupsi yang biasa digunakan pada saat pengadaan terjadi.

"Ada sebanyak 110 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp448 miliar," ujarnya.

Untuk jenis dana yang paling sering dikorupsi, lanjut dia, adalah jenis dana non-pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang biasanya untuk operasional sekolah seperti dana BOS sebanyak 247 kasus dengan kerugian negara Rp466 miliar atau sekitar 34 persen dari total kerugian negara.

"Hal yang menarik adalah dana PBJ (DAK, sarana prasarana, infrastruktur sekolah dan buku) yang tercatat sebanyak 178 kasus dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp903,1 miliar atau 65,9 persen dari total kerugian negara. Artinya bahwa PBJ perlu diawasi secara lebih serius dalam hal proses pengadaan dari awal hingga akhir," tuturnya.

Untuk lembaga tempat terjadinya korupsi, ICW menyebut Dinas Pendidaan menjadi tempat paling sering terjadinya korupsi kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp457 miliar.

"Hal ini menjadi masuk akal karena anggaran dikelola oleh Dinas Pendidikan di daerah," ucap Wana.

Selanjutnya yaitu sekolah dengan 93 kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp136 miliar. Disusul universitas dengan 35 kasus dan kerugian negara Rp194,4 miliar.

"Baru setelahnya, Pemkot/Pemkab dengan 26 kasus dan kerugian negara Rp120,5 miliar serta Pemprov dengan 13 kasus dan kerugian negara karenanya Rp7,8 miliar," tuturnya.

Kesemua hal tersebut, tambah dia, kebanyakan terjadi di Jawa Tengah dengan 42 kasus, Jawa Barat (31 kasus), Sulawesi selatan (31) kasus), Jawa Timur (29 kasus) dan Sumatera Utara (27 kasus).

"Aktor yang paling banyak melakukan korupsi berasal dari PNS yang bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan (225 orang), namun hal ini bukan berarti PNS menjadi salah satu otak dalam kasus korupsi yang terjadi. Karena PNS yang terjerat kasus korupsi hanya sebagai operator. Aparat penegak hukum masih belum bisa menjerat aktor utamanya," ujarnya.

Sementara itu, kata dia, ada sebanyak 95 orang yang berasal dari swasta. Kepala dinas menjadi aktor terbanyak yang melakukan korupsi selanjutnya, 77 orang kepala dinas, 65 kepala sekolah dan 27 orang menjabat bendahara.


Solusi

Untuk mencegah berulangnya korupsi tersebut, kata dia, ada empat solusi yang bisa dijalankan, pertama, penerima manfaat (Pemprov, Pemkab, Pemkot) wajib menerapkan sistem pengadaan secara elektronik.

"Pemerintah pusat melalui Kemendikbud perlu menjadikan system pengadaan elektronik sebagai syarat pengucuran dana pendidikan tahun berikutnya," katanya.

Kedua, dalam setiap belanja ataupun pengeluaran lain-lainnya, Pemerintah Daerah wajib menerapkan sistem transaksi non tunai (cashless).

Ketiga, pemberdayaan komite sekolah untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam proses penyusunan anggaran pendidikan di sekolah dan pengawasan pelaksanaan pendidikan yang meliputi pengadaan, penggunaan dana operasional.

"Intinya komite sekolah harus dipilih melalui sistem yang transparan dan demokratis agar menghindarkan dari kemungkinan menjadi komite sekolah yang lembek," tuturnya.

Keempat, dengan cara mendorong wakil rakyat di daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam pengawasan pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-masing.

"Baik terkait dengan rencana program, maupun monitoring dan evaluasi," katanya menambahkan.