Jakarta (ANTARA News) - Sosiolog Tamrin Amal Tomagola menyambut baik wacana pemerintah membongkar kuburan korban pembunuhan massal 1965-1966 karena hal tersebut dapat menuju pada pengungkapan kebenaran sejarah.

"Negara harus berupaya bongkar kuburan-kuburan besar. Kalau negara sadar ada kuburan massal yang dilakukan aparat, negara wajib minta maaf," kata Tamrin di Jakarta, Senin.

Dia menilai upaya yang ditempuh oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo untuk meluruskan sejarah secara bertahap patut mendapat apresiasi.

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia (UI) tersebut mengatakan bahwa beban masa lalu terkait tragedi tersebut memang harus diangkat dan diketahui kebenarannya.

"Harus tahu siapa yang berbuat dan berapa korbannya. Ini agar generasi akan datang tidak ada beban, kalau tidak ke depan bakal ada beban terus. Para keturunan korban akan terus sakit hati," kata Tamrin.

Menurut dia, rekonsiliasi tidak sekadar hanya pemulihan hubungan antara pelaku pembunuhan dan korban. Namun, rekonsiliasi yang melibatkan negara adalah yang paling penting, mengingat peran negara signifikan dalam tragedi pembunuhan massal 1965-1966.

"Negara harus minta maaf memang. Harus minta maaf," kata Tamrin.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta Menkopolhukam Luhut Pandjaitan untuk mencari lokasi-lokasi yang menjadi kuburan korban pembunuhan massal 1965-1966.

Keberadaan kuburan korban pembunuhan massal tersebut dibutuhkan sebagai pembuktian sejarah terkait pembantaian warga negara diduga pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

(R031/A011)