Puluhan LSM tolak Perppu Kebiri
12 Mei 2016 23:21 WIB
ilustrasi : Wakil Ketua Internal Komnas HAM Siti Noor Laila (tengah) bersama Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Roichatul Aswidah (kiri) dan Koordinator Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati (kanan) memberikan keterangan terkait Undang-Undang tentang Hukuman Kebiri bagi pelaku kejahatan seksual di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2/2016). (ANTARA FOTO/Reno Esnir) ()
Jakarta (ANTARA News) - Puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak pemberlakuan hukuman kebiri sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak yang rencananya diterapkan pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Sejumlah LSM yang tergabung sebagai Aliansi 99, di antaranya adalah ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, dan KONTRAS menyatakan penolakan mereka terhadap pemberlakuan hukuman kebiri melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Aliansi 99 menilai penggunaan kebiri dengan metode "chemical castration" ini tidak pernah berhasil menurunkan angka kejahatan seksual di negar-negara yang menerapkan hukuman tersebut, sehingga Perppu yang dirancang ini akan menjadi aturan buruk untuk diberlakukan.
Menurut kumpulan LSM ini, sistem peradilan pidana Indonesia yang membuat angka kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi, di mana para korban kerap menghadapi hambatan pada penyidikan dan penuntutan.
Berdasarkan data yang diperoleh Aliansi 99, sistem peradilan pidana Indonesia tidak dirancang secara memadai bagi korban kejahatan seksual untuk dapat mengakses dan membawa keadilan bagi para korban.
Bahkan, hanya sedikit kasus korban kekerasan anak yang berhasil masuk ke ruang persidangan, yang akibatnya hukuman maksimal yang diterapkan itu tidak akan pernah membawa efek jera.
Terkait dengan hal ini, aparat penegak hukum perlu melakukan penyidikan dan penuntutan secara lebih komprehensif terhadap para pelaku kejahatan seksual.
Selain itu, rancangan perppu yang disusun ini juga dinilai melupakan nasib korban kejahatan seksual.
Menurut Aliansi 99, tidak ada regulasi yang secara khusus memberikan hak-hak korban kejahatan seksual seperti, kompensasi, restitusi, rehabilitasi, bantuan medis, psikologis dan psikosial.
Oleh karena itu, pemerintah diminta mempertimbangkan sejumlah data akurat mengenai kekerasan anak, sebagai dasar pembentukan kebijakan yang menyeluruh bagi penanganan kasus kejahatan seksual dan korban kejahatan seksual.
Sebelumnya, pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, hal ini berdasarkan keputusan yang diambil Presiden Joko Widodo setelah melakukan rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/5).
Terkait dengan rencana tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan Perppu ini akan berisi mengenai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, yakni hukuman pokok maksimal 20 tahun penjara dan hukuman tambahan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga mengemukakan pemerintah akan secepatnya mengirim rancangan Perppu itu ke DPR untuk dibahas pada masa sidang selanjutnya.
Sejumlah LSM yang tergabung sebagai Aliansi 99, di antaranya adalah ICJR, ELSAM, ECPAT INDONESIA, LBH Apik Jakarta, Forum Pengada Layanan, LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Masyarakat, PBHI, SAPA Indonesia, LBH Pers, PKBI, WALHI, dan KONTRAS menyatakan penolakan mereka terhadap pemberlakuan hukuman kebiri melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Aliansi 99 menilai penggunaan kebiri dengan metode "chemical castration" ini tidak pernah berhasil menurunkan angka kejahatan seksual di negar-negara yang menerapkan hukuman tersebut, sehingga Perppu yang dirancang ini akan menjadi aturan buruk untuk diberlakukan.
Menurut kumpulan LSM ini, sistem peradilan pidana Indonesia yang membuat angka kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi, di mana para korban kerap menghadapi hambatan pada penyidikan dan penuntutan.
Berdasarkan data yang diperoleh Aliansi 99, sistem peradilan pidana Indonesia tidak dirancang secara memadai bagi korban kejahatan seksual untuk dapat mengakses dan membawa keadilan bagi para korban.
Bahkan, hanya sedikit kasus korban kekerasan anak yang berhasil masuk ke ruang persidangan, yang akibatnya hukuman maksimal yang diterapkan itu tidak akan pernah membawa efek jera.
Terkait dengan hal ini, aparat penegak hukum perlu melakukan penyidikan dan penuntutan secara lebih komprehensif terhadap para pelaku kejahatan seksual.
Selain itu, rancangan perppu yang disusun ini juga dinilai melupakan nasib korban kejahatan seksual.
Menurut Aliansi 99, tidak ada regulasi yang secara khusus memberikan hak-hak korban kejahatan seksual seperti, kompensasi, restitusi, rehabilitasi, bantuan medis, psikologis dan psikosial.
Oleh karena itu, pemerintah diminta mempertimbangkan sejumlah data akurat mengenai kekerasan anak, sebagai dasar pembentukan kebijakan yang menyeluruh bagi penanganan kasus kejahatan seksual dan korban kejahatan seksual.
Sebelumnya, pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, hal ini berdasarkan keputusan yang diambil Presiden Joko Widodo setelah melakukan rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/5).
Terkait dengan rencana tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan Perppu ini akan berisi mengenai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, yakni hukuman pokok maksimal 20 tahun penjara dan hukuman tambahan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga mengemukakan pemerintah akan secepatnya mengirim rancangan Perppu itu ke DPR untuk dibahas pada masa sidang selanjutnya.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016
Tags: