Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Anna Boentaran, istri dari terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Djoko Soegiarto Tjandra.


"Menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.




Pemohon merasa keberatan atas pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena menurut pemohon hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali.

Mahkamah kemudian dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa peninjauan kembali oleh JPU telah menimbulkan dua pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali.

"Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang Undang adalah terpidana atau ahli warisnya," ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Sementara itu pelanggaran terhadap objek terjadi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali.

Arief Hidayat kemudian menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang tidak ditafsirkan dengan, "...permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum."

Djoko Tjandra merupakan buron kasus BLBI terkait dengan hak tagih (cassie) Bank Bali yang saat ini sudah menjadi warga negara Papua Nugini.

Sebelumnya Djoko pada Agustus tahun 2000, didakwa oleh JPU Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Namun, Majelis hakim memutuskan Djoko lepas dari segala tuntutan karena perbuatannya tersebut bukanlah perbuatan tindak pidana melainkan perdata.

Kejaksaan Agung pada Oktober 2008 kemudian mengajukan Peninjauan Kembali kasus tersebut.

Pada Juni 2009 Mahkamah Agung menerima Peninjauan Kembali yang diajukan dan menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Djoko, selain denda Rp15 juta.

Namun, Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi, hingga kemudian yang bersangkutan dinyatakan sebagai buron dan diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini.