London (ANTARA News) - Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) diproyeksi mempertahankan tingkat produksi minyaknya pada saat pertemuan tingkat menteri kartel minyak itu di Wina, Kamis. Berbicara dari Wina sebelum pertemuan berlangsung, Menteri Perminyakan Nigeria, Edmund Daukoru, mengatakan bahwa pihaknya akan menentang keras keinginan untuk menaikkan produksi dalam pertemuan tersebut. "Kami belum ke arah sana," katanya. Permintaan akhir-akhir ini untuk meningkatkan produksi muncul karena kenaikan harga minyak dikhawatirkan akan membuat ketidakstabilan ekonomi global yang saat ini sudah cenderung goyah, demikian laporan XFN-Asia. Indeks Rata-Rata Industri Dow Jones, Senin lalu, mencatat bahwa telah terjadi penurunan kedua terbesar dalam hampir empat tahun terakhir. Hal itu menyusul laporan meningkatnya masalah dalam sektor kredit perumahan, yang mengucurkan kredit pinjaman kepada orang dengan sejarah kredit yang buruk. Pelemahan juga melanda bursa Asia dan Eropa hari ini, menggantikan proses pemulihan dari pasar modal dunia yang sudah terlihat akhir bulan lalu. Meski begitu, Daukoru mengatakan, kejatuhan pasar modal dunia hanyalah sementara dan dia tidak melihatnya akan berdampak jangka panjang bagi ekonomi global maupun permintaan minyak dunia. Shukri Ghanem, Kepala Perusahaan Minyak Nasional Libia mengatakan, meskipun pelemahan harga saham dapat mempunyai dampak bagi pertumbuhan ekonomi AS, adalah prematur untuk mengasumsikan hal itu sedang terjadi. "Sejauh ini kami tidak terlalu sangat khawatir," katanya. Ia menambahkan bahwa dirinya tidak percaya ada kebutuhan untuk mengubah target produksi, dimana saat ini mencapai 25,8 juta barel minyak per hari (bph) untuk semua anggota OPEC kecuali Irak dan Angola. Para pejabat dari Kuwait, Qatar, Nigeria, Libia dan Uni Emirat Arab telah secara bulat dalam beberapa hari terakhir mengemukakan keinginan mereka untuk mempertahankan tingkat produksi dalam pertemuan OPEC kali ini. Hal itu dilakukan setelah kartel setuju untuk mengurangi 1,7 juta bph dari total produksinya dalam dua pertemuan terakhir bulan Oktober dan Desember sebagai upaya mencegah penurunan harga minyak. Walaupun banyak pihak di luar OPEC menilai, pemangkasan produksi saat itu hanya perlu 1 juta bph saja, namun keputusan pemotongan produksi OPEC itu telah membantu menstabilkan harga minyak, yang bertahan dalam kisaran 55-65 dolar AS selama tahun ini. Pemangkasan produksi itu juga diikuti dengan penurunan dalam stok minyak dunia. Menurut Badan Energi Internasional (IAE), stok minyak di negara-negara industri maju OECD dapat mengalami penurunan yang terbesar sejak lebih dari satu dekade pada triwulan pertama tahun ini. IAE dalam laporan bulanannya, Selasa, mengatakan, stok minyak OECD mengalami penurunan tertinggi yang tidak biasanya dalam dua bulan pertama tahun ini. "Dalam kenyataannya, kecederungan stok dan harga menunjukkan bahwa kenaikan ekspor OPEC akan dibutuhkan dalam beberapa bulan mendatang," kata IEA, yang menjadi penasehat bagi 26 negara industri maju. Badan tersebut memperkirakan, total produksi OPEC, termasuk Irak dan Angola, rata-rata mencapai 30,2 juta barel pada Februari, sekitar 400.000 barel lebih rendah dari keharusan OPEC memenuhi pemintaan minyak dunia. (*)