Thailand larang berpendapat "kasar" jelang referendum
3 Mei 2016 18:18 WIB
Perdana Menteri Thailand yang baru ditunjuk Prayuth Chan-ocha memberi salam saat berkunjung ke Garda Ratu Resimen Infanteri 21 Batalyon Infantri 2 di Provinsi Chonburi, Thailand, Kamis (21/8/14). Pemimpin kudeta Thailand Jenderal Chan-ocha ditunjuk sebagai perdana menteri Kamis kemarin oleh badan legislatif yang ia pilih anggotanya, yang secara halus memberikan kekuasaan bagi kepala militer Thailand itu meski pihak militer terus melakukan tekanan untuk membungkam kritik. (REUTERS/Chaiwat Subprasom)
Bangkok (ANTARA News) - Mulai dari pertanyaan soal kedudukan Inggris di Eropa hingga pilihan bendera Selandia Baru, penentuan pendapat rayat di seluruh dunia lazim didahului dengan perbantahan tidak terkendali.
Tidak demikian halnya di Thailand di bawah pemerintahan tentara, lapor Reuters.
Banyak warga Thailand terganggu dengan aturan ketat baru, yang mengatur wacana menjelang penentuan pendapat rakyat tentang undang-undang dasar dukungan militer pada 7 Agustus.
Tentara, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada Mei 2014, mengancam akan memenjarakan siapa saja yang berkampanye untuk atau menentang konstitusi, yang oleh pengkritik dikatakan memperkuat pengaruh politik militer.
Empatbelas butir aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan secara resmi menjadi undang-undang pada Senin, membuat diskusi yang bermaksud baik sekalipun menjadi berisiko, kata akademisi dan pakar.
Berdasarkan atas aturan itu, warga Thailand harus mengungkapkan pendapat mereka dengan "kata-kata sopan... tanpa mendistorsi fakta".
"Wawancara kasar, agresif, atau mengintimidasi" dengan media dilarang. Begitu juga menyelenggarakan diskusi panel "dengan tujuan memicu kerusuhan politik".
Hal lain yang juga dilarang adalah "kaos, pin dan pita" yang mendorong orang lain untuk berkampanye.
Pelanggar aturan itu diancam hukuman penjara hingga 10 tahun. Pembangkang di Thailand yang diperintah oleh militer seringkali mendapatkan hukuman penjara lama berdasar UU mengenai kejahatan komputer serta penghinaan kerajaan.
Referendum itu akan menjadi ujian bagi popularitas junta dan titik kilas potensial dalam ketidakpastian politik, kata pengamat. Pemerintah militer berjanji akan menggelar pemilihan umum pada pertengahan 2017, meskipun bila konstitusi tersebut ditolak.
Kelompok dari berbagai garis politik menyebut rancangan konstitusi tersebut tidak demokratis, dengan satu partai politik besar mendesak para pendukungnya untuk memilih "tidak".
"Untuk mengungkapkan pendapat menggunakan alasan. Begitu susahkah untuk dipahami?" kata Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha kepada wartawan yang menanyakan soal aturan baru itu, Selasa.
Prayuth memerintah hampir tanpa tantangan, namun para pegiat anti-junta baru-baru ini menggelar unjuk rasa kecil dan sering.
Sembilan pegiat dipenjara pekan lalu atas dakwaan menghasut dan kejahatan komputer. Dua diantaranya menghadapi tambahan dakwaan menghina kerajaan.
Phubed Pisanaka, lulusan hukum yang berkomentar mengenai pemerintah di akun Facebooknya mengatakan aturan itu akan membuatnya lebih berhati-hati.
"Saya harus berpikir dua kali mengenai apa yang saya tulis dan bagi sekarang," katanya.
Warga lain masih tetap menantang.
"Saya akan tetap mengungkapkan pendapat saya meskipun bisa saja dipidanakan," kata KornKritch Somjittranukit, kontributor portal Thailand, Prachatai.
"Jika berpikir beda adalah kejahatan, hidup di dalam atau di luar penjara secara praktis sama saja," katanya.
(Uu.S022/B002)
Tidak demikian halnya di Thailand di bawah pemerintahan tentara, lapor Reuters.
Banyak warga Thailand terganggu dengan aturan ketat baru, yang mengatur wacana menjelang penentuan pendapat rakyat tentang undang-undang dasar dukungan militer pada 7 Agustus.
Tentara, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada Mei 2014, mengancam akan memenjarakan siapa saja yang berkampanye untuk atau menentang konstitusi, yang oleh pengkritik dikatakan memperkuat pengaruh politik militer.
Empatbelas butir aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan secara resmi menjadi undang-undang pada Senin, membuat diskusi yang bermaksud baik sekalipun menjadi berisiko, kata akademisi dan pakar.
Berdasarkan atas aturan itu, warga Thailand harus mengungkapkan pendapat mereka dengan "kata-kata sopan... tanpa mendistorsi fakta".
"Wawancara kasar, agresif, atau mengintimidasi" dengan media dilarang. Begitu juga menyelenggarakan diskusi panel "dengan tujuan memicu kerusuhan politik".
Hal lain yang juga dilarang adalah "kaos, pin dan pita" yang mendorong orang lain untuk berkampanye.
Pelanggar aturan itu diancam hukuman penjara hingga 10 tahun. Pembangkang di Thailand yang diperintah oleh militer seringkali mendapatkan hukuman penjara lama berdasar UU mengenai kejahatan komputer serta penghinaan kerajaan.
Referendum itu akan menjadi ujian bagi popularitas junta dan titik kilas potensial dalam ketidakpastian politik, kata pengamat. Pemerintah militer berjanji akan menggelar pemilihan umum pada pertengahan 2017, meskipun bila konstitusi tersebut ditolak.
Kelompok dari berbagai garis politik menyebut rancangan konstitusi tersebut tidak demokratis, dengan satu partai politik besar mendesak para pendukungnya untuk memilih "tidak".
"Untuk mengungkapkan pendapat menggunakan alasan. Begitu susahkah untuk dipahami?" kata Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha kepada wartawan yang menanyakan soal aturan baru itu, Selasa.
Prayuth memerintah hampir tanpa tantangan, namun para pegiat anti-junta baru-baru ini menggelar unjuk rasa kecil dan sering.
Sembilan pegiat dipenjara pekan lalu atas dakwaan menghasut dan kejahatan komputer. Dua diantaranya menghadapi tambahan dakwaan menghina kerajaan.
Phubed Pisanaka, lulusan hukum yang berkomentar mengenai pemerintah di akun Facebooknya mengatakan aturan itu akan membuatnya lebih berhati-hati.
"Saya harus berpikir dua kali mengenai apa yang saya tulis dan bagi sekarang," katanya.
Warga lain masih tetap menantang.
"Saya akan tetap mengungkapkan pendapat saya meskipun bisa saja dipidanakan," kata KornKritch Somjittranukit, kontributor portal Thailand, Prachatai.
"Jika berpikir beda adalah kejahatan, hidup di dalam atau di luar penjara secara praktis sama saja," katanya.
(Uu.S022/B002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016
Tags: