Jakarta (ANTARA News) - "Ahh cerita Ibu Kartini sudah bosan, gitu saja," keluh seorang anak dalam salah satu dialog film "Surat Cinta Untuk Kartini". "Kalau cerita tukang pos yang selalu kirim surat buat Ibu Kartini belum kan?" jawab seorang lelaki yang berusaha menarik perhatian di depan sekumpulan anak-anak sekolah.

Adegan tersebut merupakan cuplikan adegan film yang berdasarkan latar belakang sejarah pejuang emansipasi wanita Ibu Kartini.

Cerita dalam film "Surat Cinta Untuk Kartini" merupakan fiktif, kisah seorang tukang pos bernama Sarwadi (Chicco Jerikho) yang sejatinya seorang rakyat jelata jatuh hati kepada putri seorang ningrat bernama Kartini (Rania Putri Sari).

Film ini berlatar belakang era tahun 1900-an, dengan setting cerita di daerah Jepara, Jawa Tengah. Walau aslinya, sebenarnya pengambilan gambar berada di daerah Yogyakarta, Klaten, Gunungkidul dan Colomadu (Jawa Tengah).

Lukman Sardi menjadi produser dalam film ini, dengan disutradarai oleh sutradara muda Azhar Kinoi Lubis. Kartini yang diperankan oleh Rania Putri Sari merupakan aktris pendatang baru. Rania merupakan seorang mahasiswi jurusan International Bussiness Management dari Universitas Ciputra, Surabaya.

Lukman Sardi selaku produser berpendapat bahwa hal tersebut dilakukan setelah melalui audisi dan juga untuk regenerasi artis Indonesia.

Untuk menegaskan bahwa film ini merupakan cerminan sejarah yang dikemas dalam film fiksi, sutradara memilih alur film ini seperti dongeng, dengan bercerita kepada anak-anak.


Sinopsis

Sarwadi adalah seorang pengantar surat di daerah Jepara. Suatu ketika ia harus mengantarkan sebuah surat ke kediaman Bupati, dan di situlah ia melihat sosok Kartini untuk pertama kali dan langsung jatuh cinta.

Kemudian Sarwadi selalu menceritakan hal tersebut kepada Mujur (Ence Bagus), teman Sarwadi.

Hal yang menambah Sarwadi jatuh cinta kepada Kartini adalah sikapnya yang halus dan santun kepada masyarakat awam padahal dirinya merupakan keturunan ningrat, yang pada masa itu harus dihormati karena perbedaan kasta.

Hingga ketika Kartini mempunyai keinginan untuk mengajar kepada anak-anak perempuan agar mempunyai kedudukan sederajat dengan laki-laki, Sarwadi mengajak anaknya Ningrum (Christabelle Grace Marbun) agar mau belajar menuntut ilmu kepada Kartini.

Sarwadi juga menceritakan bagaimana dirinya menikah pada usia sangat muda, yaitu 16 tahun. Ia juga menjelaskan bagaimana bertemu dengan istrinya, yaitu ketika di depan penghulu, atau dengan kata lain dijodohkan, karena pada masa itu usia tersebut sudah dipandang cukup untuk menikah, walau tanpa harus jatuh cinta.

Sarwadi lantas menjuluki dirinya dengan gelar Sarwadi Putra Raja Langit agar bisa setara dengan Kartini yang bergelar Raden Ajeng Ayu Kartini.

Setelah dekat dengan Kartini karena sering menemani putrinya belajar, ia berniat mengungkapkan perasaannya melalui surat yang ditulisnya sendiri.

Namun, seketika hati Sarwadi patah hati dan hancur ketika mendengar kabar Kartini dilamar oleh Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.

"Surat Cinta Untuk Kartini" merupakan perpaduan karya yang memadukan antara sejarah perjuangan pahlawan dengan kemasan percintaan yang lebih menjual secara industri.

Pengemasan fiktif tersebut tentu saja lebih menampilkan banyak hal "segar" dalam pengenalan sejarah kepada masyarakat melalui film.

Unsur fakta yang mencerminkan sosok Kartini juga tidak dihilangkan oleh sutradara, guna tetap memberikan tontonan yang berlatar belakang sejarah pahlawan nasional.

Dengan alur dongeng yang menampilkan gradasi perbedaan anak sekolah zaman sekarang dan zaman perjuangan dalam menuntut ilmu mampu menggiring penonton membayangkan hasil jerih payah perjuangan Kartini memperjuangkan pentingnya pendidikan.

Penayangan film ini juga tidak menampilkan adegan romantisme percintaan yang fulgar, sehingga aman untuk ditonton keluarga.

Pemilihan cuplikan fakta sejarah dalam film "Surat Cinta Untuk Kartini" bisa menjadi alternatif jawaban alasan kenapa hanya Kartini yang diperingati harinya daripada pahlawan wanita lainnya.

Bahasa yang digunakan merupakan perpaduan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang medok. Perpaduan bahasa tersebut pada beberapa adegan mampu menampilkan humor ringan yang menghibur penonton.

Penggunaan properti atau "wardrobe" yang ditampilkan mampu mendukung cerita, seperti perkakas lawas yang ada di dalam rumah, baik kursi, meja, ubin dan "teplok" atau lampu minyak tanah khas tahun 1900-an.

Bahkan pada beberapa scene, nampak ada sepeda kecil roda tiga dari besi yang klasik khas Eropa tahun 1900-an.

Salah satu unsur pendukung film yang kuat adalah original soundtrack-nya, lagu tersebut memang sama berjudul "Surat Cinta Untuk Kartini". Lagu dinyayikan oleh Gio Idol, salah satu penyanyi jebolan ajang pencari bakat di Indonesia.

Jenis musik merupakan musik pop jazz tahun 50-an, dengan lirik percintaan galau pada zaman dulu. Perpaduan lagu dan film ini mampu memunculkan fantasi zaman perjuangan yang memperkuat setiap karakter yang dimunculkan dalam film.

Selain itu, nampaknya tim Director of Photography (DOP) dengan menggunakan trik kamuflase Jepara mampu "menipu" penonton yang sebenarnya pengambilan setting tidak di kota penghasil ukiran tersebut.

Penggambaran kota penghasil ukiran kayu juga tergambarkan dengan pandainya Sarwadi mengukir hiasan kayu yang ditujukan untuk Kartini, serta lingkungan warga sekitar yang bekerja sebagai perajin kayu.

Kemudian "colouring" film ini juga memberikan kesan lawas dengan mengarah pada warna sephia cerah.

Pesan moral yang disampaikan juga bisa diambil dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah menuntut ilmu tidak harus dibatasi kasta dan jenis kelamin.