BNPT ingin kedepankan pencegahan dalam revisi UU Terorisme
21 April 2016 14:54 WIB
Dokumentasi Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelang upacara pengucapan sumpah jabatan dia sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang dipimpin Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/3). Karnavian sebelumnya kepala Polda Metro Jaya. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian, menginginkan revisi UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme memasukkan unsur pencegahan.
"Kami setuju revisi (UU Terorisme) namun harus membawa aspek preventif di dalamnya," katanya, di Gedung Nusantara I, Jakarta, Kamis.
Hal itu dia katakan dalam seminar bertajuk "Radikalisme dan Terorisme dalam Perspektif NKRI" yang diselenggarakan Fraksi PKS di DPR.
Dia mengatakan, penanganan terorisme tidak hanya melalui penegakkan hukum namun pencegahan dan rehabilitatif.
Poin kedua menurut dia, revisi UU Terorisme harus mengatur mengenai hukum acara secara khusus karena jaringan terorisme sangat kompleks.
"Ketiga, aksi lain yang belum masuk kegiatan terorisme (harus diatur dalam revisi UU Terorisme)," ujarnya.
Selain itu dia menginginkan adanya kriminalisasi terhadap WNI yang menempuh latihan militer untuk terorisme di luar negeri. Hal itu menurut dia sebagai salah satu bentuk pencegahan dalam penanggulangan aksi terorisme.
"Jangan sampai mereka diam diam pulang, kita tidak bisa proses hukum, dia melakukan langkah-langkah teror nanti semua menyesal," katanya.
Dalam acara tersebut, Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat, lega dengan keinginan BNPT yang mengusulkan penguatan aspek preventif dalam penanggulangan terorisme.
Hal itu menurut dia meskipun berisiko terkait benturan dan kebebasan fundamental apabila ada pasal yang off side dalam revisi UU Terorisme tersebut.
"Kalau ada pasal offside menyebabkan ketidak bebasan terduga teroris melakukan aktivitas karena di Indonesia dekat dengan kelompok Islam dan dikhawatirkan melanggar hak untuk menjalankan ajaran agama," katanya.
Menurut dia, selama ini aspek penindakan sudah cukup kuat sehingga harus diatur lebih relevan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
"Kami setuju revisi (UU Terorisme) namun harus membawa aspek preventif di dalamnya," katanya, di Gedung Nusantara I, Jakarta, Kamis.
Hal itu dia katakan dalam seminar bertajuk "Radikalisme dan Terorisme dalam Perspektif NKRI" yang diselenggarakan Fraksi PKS di DPR.
Dia mengatakan, penanganan terorisme tidak hanya melalui penegakkan hukum namun pencegahan dan rehabilitatif.
Poin kedua menurut dia, revisi UU Terorisme harus mengatur mengenai hukum acara secara khusus karena jaringan terorisme sangat kompleks.
"Ketiga, aksi lain yang belum masuk kegiatan terorisme (harus diatur dalam revisi UU Terorisme)," ujarnya.
Selain itu dia menginginkan adanya kriminalisasi terhadap WNI yang menempuh latihan militer untuk terorisme di luar negeri. Hal itu menurut dia sebagai salah satu bentuk pencegahan dalam penanggulangan aksi terorisme.
"Jangan sampai mereka diam diam pulang, kita tidak bisa proses hukum, dia melakukan langkah-langkah teror nanti semua menyesal," katanya.
Dalam acara tersebut, Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat, lega dengan keinginan BNPT yang mengusulkan penguatan aspek preventif dalam penanggulangan terorisme.
Hal itu menurut dia meskipun berisiko terkait benturan dan kebebasan fundamental apabila ada pasal yang off side dalam revisi UU Terorisme tersebut.
"Kalau ada pasal offside menyebabkan ketidak bebasan terduga teroris melakukan aktivitas karena di Indonesia dekat dengan kelompok Islam dan dikhawatirkan melanggar hak untuk menjalankan ajaran agama," katanya.
Menurut dia, selama ini aspek penindakan sudah cukup kuat sehingga harus diatur lebih relevan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016
Tags: