Bogor (ANTARA News) - Indonesia mendapatkan dana hibah dari lembaga nonprofit internasional untuk pelestarian satwa dugong atau dikenal dengan nama duyung dan habitatnya (Padang lamun).

"Nominal dana hibah yang kita terima sebesar 829,353.2 dolar AS atau sekitar Rp11 miliar," kata Sekretaris Jenderal Pemanfaatan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Dermawan di sela-sela simposium nasional Dugong dan Habitatnya di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.

Dana hibah untuk program pelestarian dugong dan padang lamun itu berasal dari GEF bekerja sama dengan The Mohamed bin Zayed Species conservation fund migratory species (UNEP-CMS).

Ia mengatakan, Indonesia mendapatkan dana hibah bersama tujuh negara lainnya yakni Malaysia, Srilanka, Mozambik, Madagaskar, Timur Leste, dan Vanuatu.

Dana tersebut untuk kegiatan selama tiga tahun, dimulai dari 2016 hingga akhir 2018. Ada tiga program yang telah disiapkan dengan melibatkan sejumlah pihak, di antaranya WWF Indonesia, IPB, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang bersama-sama bergerak menjalankan rencana aksi penyelamatan dugong beserta habitatnya.

"Ada tiga program kegiatan yang kita siapkan, pertama penguatan kebijakan strategi nasional, dan rencana aksi untuk konservasi dugong serta habitatnya," kata dia.

Program kedua yakni penguatan penyadaran masyarakat dan riset terkait konservasi dugong dan padang lamun. Serta yang ketiga, manajemen pengelolaan dugong dan habitatnya berbasis masyarakat.

"Ini bukan program pemerintah, tetapi program bersama. Pilot project ada di Pulau Bintang dan Alor. Yang terpenting dalam kegiatan ini bagaimana melibatkan masyarakat," katanya.

Menurut Agus, upaya pelestarian dugong dan habitatnya sudah sangat mendesak, mengingat statusnya di alam semakin terancam. Namun, upaya konservasi tersebut menghadapi banyak tantangan, di antaranya minimnya data dan informasi sebaran populasi dugong.

Keberadaan dugong kerap menjadi buruan masyarakat dan kerap terperangkap jaring nelayan seperti di wilayah Morotai. Ketika tertangkap, banyak masyarakat menjadikannya peliharaan hingga belasan tahun.

"Dugong sendiri adalah mamalia laut yang siklus hidupnya sangat singkat, usia paling lama 60 tahun. Dan populasinya sedikit karena masa reproduksinya cukup lama sampai tujuh tahun, dan hanya melahirkan satu bayi di setiap kelahiran," katanya.

Selain itu, kebiasaan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia mengonsumsi daging dugong. Bahkan jika mendapatkan tangkapan dugong, pestanya lebih mewah dari pesta perkawinan.

"Masih ada mitos di masyarakat mengambil air mata dugong dan taringnya untuk pesugihan," katanya.

Kondisi ini, lanjut Agus, jika terus dibiarkan maka akan menurunkan populasi dugong yang menjadi indikator kunci kelestarian padang lamun yang merupakan tempat makan satwa laut tersebut.

"Dugong dan lamun sama-sama penting, dugong sebagai indikator keberadaan lamun. Dan ekosistem lamun tidak hanya penting bagi dugong, tetapi juga makhluk laut lainnya juga manusia," katanya.

Agus mengatakan, melalui upaya konservasi tersebut pihaknya melibatkan IPB, LIPI dan WWF Indonesia untuk bersama-sama melakukan aksi penyelamatan.

"KKP mendorong daerah menginisiasi ekosistem padang lamun sebagai habitat kunci Dugong untuk menjadi kawasan konservasi perairan daerah (KKPD)," katanya.

Salah satu rencana aksi upaya pelestarian yang dilakukan melalui KKPD yakni memanfaatkan dugong sebagai sektor pariwisata dengan atraksi dugong tanpa mengganggu satwa maupun habitatnya. Seperti wisata menyelam sambil melihat atraksi dugong dari dasar laut.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Prof Luky Adrianto mengatakan, upaya pelestarian dugong dan lamun harus menggunakan pendekatan terpadu yang melibatkan stakeholder dan masyarakat nelayan.

"Upaya pelestarian dugong ini hendaknya melibatkan masyarakat, dan masyarakat dapat mendapatkan nilai manfaat dari konservasi yang kita lakukan. Upaya ini sudah pernah kita lakukan pada satwa parimanta dan hiu," kata dia.

Direktur Program Coral Triangle WWF Indonesia Wawan Ridwan menambahkan, simposium nasional dan habitat lamun yang diselenggarakan kali ini menjadi dasar untuk memperoleh informasi dan status terkini untuk upaya konservasi ke depan.

"Jangan sampai anak cucu kita nanti hanya melihat dugong dari gambar, kita harus bergerak cepat untuk melestarikannya," kata dia.