Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia kecam pelarangan jilbab di Prancis
17 April 2016 19:14 WIB
Ilustrasi manekin di suatu toko yang menjual busana untuk muslimah, di Tangerang, Banten. Jilbab salah satu busana buat muslimah yang selalu diperlukan di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim dan muslimah. (ANTARA FOTO/Rivan Lingga)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Dewan Islamiyah Indonesia, Mohammad Siddik, mengecam Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls, yang baru-baru ini melontarkan wacana kebijakan pelarangan memakai jilbab bagi perempuan muslim di Prancis.
"Prancis adalah negara demokrasi dan seharusnya menjunjung nilai-nilai kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia termasuk menggunakan jilbab bagi perempuan muslim sebagaimana tersimpul dalam nilai-nilai luhur negara tersebut," kata Siddik, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.
Islam, kata dia, agama terbesar di Prancis. Muslim di negara itu datang dari berbagai negeri bekas jajahannya antara lain Aljazair, Maroko, Tunisia, Mauritania, Senegal, New Guinea, Mauritius, dan lain lain.
"Disebabkan penduduk Prancis khususnya dan Eropa pada umumnya terus mengalami penurunan maka negeri-negeri di Eropa Barat memerlukan masukan penduduk yang datang sebagai imigran untuk menjalankan roda ekonominya baik sebagai pekerja pabrik, pertanian, dan mata pekerjaan lainnya," kata dia.
"Sudah tentu aspirasi penduduk muslim yang datang dengan kebudayaan dan agamanya itu harus diakomodir oleh negeri tuan rumah seperti Prancis," lanjut dia.
Menurut dia, merupakan sebuah kesalahan jika ada persepsi perempuan yang berjilbab akan mengganggu penerapan nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan gender.
Siddik mengatakan perempuan berjilbab adalah indikasi dirinya terhormat dan menjaga nilai-nilai agama yang universal.
"Bukankah pakaian perempuan di gereja, upacara-upacara keagamaan di Prancis dan umumnya perempuan Kristen juga terlihat memakai pakaian serupa jilbab. Pelarangan memakai jibab Muslimah di Prancis justru dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi negatif dan kemarahan publik baik dari kaum Muslim maupun dari warga Prancis sendiri," katanya.
Kebijakan soal jilbab di Prancis sendiri pernah menjadi kontroversi lima tahun yang lalu. Pemerintah Prancis saat itu melarang pemakaian burqa atau niqab karena menurut mereka bisa menimbulkan risiko keamanan.
"Prancis adalah negara demokrasi dan seharusnya menjunjung nilai-nilai kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia termasuk menggunakan jilbab bagi perempuan muslim sebagaimana tersimpul dalam nilai-nilai luhur negara tersebut," kata Siddik, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.
Islam, kata dia, agama terbesar di Prancis. Muslim di negara itu datang dari berbagai negeri bekas jajahannya antara lain Aljazair, Maroko, Tunisia, Mauritania, Senegal, New Guinea, Mauritius, dan lain lain.
"Disebabkan penduduk Prancis khususnya dan Eropa pada umumnya terus mengalami penurunan maka negeri-negeri di Eropa Barat memerlukan masukan penduduk yang datang sebagai imigran untuk menjalankan roda ekonominya baik sebagai pekerja pabrik, pertanian, dan mata pekerjaan lainnya," kata dia.
"Sudah tentu aspirasi penduduk muslim yang datang dengan kebudayaan dan agamanya itu harus diakomodir oleh negeri tuan rumah seperti Prancis," lanjut dia.
Menurut dia, merupakan sebuah kesalahan jika ada persepsi perempuan yang berjilbab akan mengganggu penerapan nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan gender.
Siddik mengatakan perempuan berjilbab adalah indikasi dirinya terhormat dan menjaga nilai-nilai agama yang universal.
"Bukankah pakaian perempuan di gereja, upacara-upacara keagamaan di Prancis dan umumnya perempuan Kristen juga terlihat memakai pakaian serupa jilbab. Pelarangan memakai jibab Muslimah di Prancis justru dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi negatif dan kemarahan publik baik dari kaum Muslim maupun dari warga Prancis sendiri," katanya.
Kebijakan soal jilbab di Prancis sendiri pernah menjadi kontroversi lima tahun yang lalu. Pemerintah Prancis saat itu melarang pemakaian burqa atau niqab karena menurut mereka bisa menimbulkan risiko keamanan.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016
Tags: