Jakarta (ANTARA News) - KPK kembali memeriksa Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Hartono dan sejumlah petinggi PT Agung Podomoro Land dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pantai Utara Jakarta.

Selain Heru, KPK juga memeriksa Direktur Keuangan PT Agung Podomoro Land Cesar M Deal Cruz, Direktur Legal PT Agung Podomoro Land Miarni Ang, Karyawan PT Agung Podomoro Land Berlian Kurniawati yang juga sudah dicegah dalam perkara ini serta Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja yang menjadi tersangka dalam kasus ini.

"Para saksi diperiksa untuk tersangka MSN (Mohamad Sanusi)," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Kamis.

Heru Budi Hartono yang juga calon wakil gubernur yang berpasangan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja melalui jalur perorangan, sudah pernah diperiksa KPK pada 7 April 2016 lalu.

Usai diperiksa pada Kamis (7/4), Heru mengaku ditanya mengenai proses penentuan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di pulau-pulau reklamasi yang berada di Pantai Utara Jakarta.

"Mengenai status tanah HPL. Prosesnya itu saja, tidak sampai proses reklamasi, karena BPKAD tidak terkait dengan itu," kata Heru pada Kamis (7/4).

Heru mengatakan BPKAD tidak terlibat dalam pemberian izin HPL karena BPKAD hanya menjelaskan status aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan HPL yang diizinkan kepada pengembang.

"Ketika sedang jadi HPL atas nama pemda, di atas HPL itu baru boleh dibangun HGB (Hak Guna Bangunan)," tambah Heru.

KPK pada Rabu (13/4) sudah memeriksa bos PT Agung Sedayu Sugiyanto Kusuma alias Aguan dan staf khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya dalam perkara ini. Sunny pun mengaku bahwa ia menjadi perantara antara Gubernur DKI Jakarta dan para pengembang dalam reklamasi Teluk Jakarta.

Sunny Tanuwidjaja juga diduga pernah berkomunikasi dengan Aguan untuk membicarakan kewajiban pengembang reklamsi untuk membayar kontribusi 15 persen dalam raperda tata ruang pantai utara Jakarta agar kontribusinya diturunkan hingga hanya menjadi 5 persen.

Sebelumnya dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, hanya diatur kewajiban pembuatan fasilitas sosial dan umum serta kontribusi pengembang seluas 5 persen lahan. Namun saat Basuki menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia menambahkan kontribusi 15 persen lahan sehingga pemerintah DKI Jakarta mendapat uang Rp48,8 triliun.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan Ariesman meski belum diketahui total "commitment fee" yang diterimma Sanusi. Suap kepada Sanusi diberikan melalui Trinanda Prihantoro.

KPK pun telah mengirimkan surat cegah terhadap lima orang yaitu sekretaris direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.

Namun hingga saat ini belum diketahui apakah Sugianto juga ikut menyuap Sanusi atau anggota baleg DPRD lain karena KPK belum menetapkan tersangka lain.

KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.