Revolusi mental kejaksaan dinilai gagal
13 April 2016 16:05 WIB
Tersangka kasus suap Kejati DKI Jakarta yang diamankan dalam operasi tangkap tangan Dandung Pamularno meninggalkan Gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Jumat (4/1). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Bekas Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Kaspudin Noor mengatakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap beberapa jaksa menjadi bukti revolusi mental kejaksaan gagal total.
"Revolusi mental gagal karena selama ini tidak jelas visi dan sistemnya," kata Kaspudin, dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama kepada Antara di Jakarta, Rabu.
Dalam sepekan ini Kejaksaan menjadi sorotan publik setelah OTT terhadap petinggi PT Brantas Abipraya (Persero) dalam suap yang diduga untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi pada BUMN itu oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, kemudian dua jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan kalahnya Kejati Jawa Timur dalam gugatan praperadilan oleh tersangka korupsi dana hibah bansos Jawa Timur La Nyalla Mattalitti.
Ia mengaku saat masih mejabat Komisioner Komisi Kejaksaan pernah memberikan masukan kepada kejaksaan mengenai pentingnya pengawasan melekat (waskat). "Mungkin waskat itu yang tidak berjalan," katanya.
Menurut dia, Kejaksaan semestinya menjiplak sistem waskat diterapkan kepolisian. "Copy paste-lah kejaksaan terhadap Polri," saran dia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dua OTT KPK di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Jawa Barat membuktikan kegagalan pembinaan di internal Korps Adhyaksa.
"Dua OTT KPK itu harus diartikan bahwa institusi kejaksaan belum steril dari praktik korupsi dan mafia peradilan," kata peneliti ICW Emerson Yuntho.
Emerson mengatakan operasi KPK itu juga harus diartikan bahwa fungsi pengawasan di internal kejaksaan belum berjalan optimal sehingga masih ada praktik korupsi dan mafia peradilan.
Emerson menilai Jaksa Agung M. Prasetyo seharusnya meminta maaf kepada publik dan berbesar hati mengundurkan diri.
"Revolusi mental gagal karena selama ini tidak jelas visi dan sistemnya," kata Kaspudin, dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama kepada Antara di Jakarta, Rabu.
Dalam sepekan ini Kejaksaan menjadi sorotan publik setelah OTT terhadap petinggi PT Brantas Abipraya (Persero) dalam suap yang diduga untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi pada BUMN itu oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, kemudian dua jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan kalahnya Kejati Jawa Timur dalam gugatan praperadilan oleh tersangka korupsi dana hibah bansos Jawa Timur La Nyalla Mattalitti.
Ia mengaku saat masih mejabat Komisioner Komisi Kejaksaan pernah memberikan masukan kepada kejaksaan mengenai pentingnya pengawasan melekat (waskat). "Mungkin waskat itu yang tidak berjalan," katanya.
Menurut dia, Kejaksaan semestinya menjiplak sistem waskat diterapkan kepolisian. "Copy paste-lah kejaksaan terhadap Polri," saran dia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dua OTT KPK di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Jawa Barat membuktikan kegagalan pembinaan di internal Korps Adhyaksa.
"Dua OTT KPK itu harus diartikan bahwa institusi kejaksaan belum steril dari praktik korupsi dan mafia peradilan," kata peneliti ICW Emerson Yuntho.
Emerson mengatakan operasi KPK itu juga harus diartikan bahwa fungsi pengawasan di internal kejaksaan belum berjalan optimal sehingga masih ada praktik korupsi dan mafia peradilan.
Emerson menilai Jaksa Agung M. Prasetyo seharusnya meminta maaf kepada publik dan berbesar hati mengundurkan diri.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016
Tags: