Semarang (ANTARA News) - Sri Mulyati, korban peradilan sesat yang sempat menjalani hukuman 13 bulan penjara sebelum akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung, mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo, karena dia belum menerima ganti rugi atas ketidakadilan yang terjadi pada dia itu.


"Surat sudah disampaikan akhir Maret lalu," kata kuasa hukum Sri Mulyati dari LBH Mawar Saron Semarang, Jhony Mazmur, di Semarang, Senin.

Dalam surat tersebut, kata dia, dijelaskan mengenai permaslahan yang menjerat Sri Mulyati, termasuk ganti rugi Rp7 juta yang belum juga diperoleh.

Kasus Sri itu sendiri, lanjut dia, merupakan bagian dari sejarah lahirnya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang diubah menjadi PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang ganti rugi bagi korban salah tangkap.

Meski demikian, menurut dia, aturan baru tersebut tidak berlaku untuk kasus Sri Mulyati.

Ia mengharapkan pemerintah dapat memberi perhatian terhadap korban peradilan sesat yang sudah berjuang selama lima tahun terakhir ini.

Sebelumnya, Sri Mulyati (39), pegawai satu tempat karaoke di Kota Semarang, harus menjalani hukuman penjara selama 13 bulan atas pidana yang tidak pernah dilakukannya sebelum dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung.

Pada pengadilan tingkat pertama, warga Jalan Kampung Malang, Petolongan, Semarang ini dijatuhi hukuman delapan bulan dan dikuatkan menjadi satu tahun oleh Pengadilan Tinggi Semarang.

Sri juga diwajibkan membayar denda Rp2 juta yang jika tidak dipenuhi akan diganti dengan hukuman kurungan selama dua bulan.

Pada 2012, kasasi yang diajukan Sri melalui penasihat hukumnya dari LBS Mawar Saron dikabulkan Mahkamah Agung dengan putusan bebas murni.

MA juga mengabulkan tuntutan ganti rugi yang diajukan Sri Mulyati terhadap negara sebesar Rp7 juta.