Pada era teknologi digital sekarang ini, segalanya bergulir begitu cepat. Dunia perbukuan pun terkena hukum perputaran kilat itu.
Jika sebuah novel atau buku nonfiksi terbit lalu mendapat sambutan istimewa dari pembaca atau penulis resensi, cepat-cepatlah membelinya. Bila Anda menunda-nunda, buku itu akan lenyap dari rak toko buku. Anda pun kecewa.
Bagi toko buku, memajang buku-buku yang sudah lama juga dianggap membuang-buang peluang meraih laba berlebih. Buku-buku baru menjadi prioritas untuk dipajang dan diperdagangkan.
Zaman sekarang memang tidak selalu memihak pada kualitas dalam banyak perdagangan komoditas. Buku-buku yang berkualitas, yang mempunyai nilai karena isinya, cara penyajiannya, akan diturunkan dari etalase atau rak toko buku begitu ada buku-buku baru yang mesti dipromosikan.
Saat ini mencari novel-novel dengan nama-nama beken, baik yang domestik maupun mancanegara, tak segampang 2 atau 3 dasawarsa silam.
Kini, yang terserak dan terpampang di toko-toko buku adalah beragam buku baru dari sebagian besar pengarang-pengarang baru.
Ke mana sisa buku-buku yang ditulis sejumlah pengarang atau penulis beken beberapa dasawarsa silam itu? Sebagian toko buku membuka lapak obral buku dengan harga separuh dari harga semula.
Di lapak inilah sesungguhnya penggemar buku-buku konvensional, bukan buku digital, dapat melampiaskan hasratnya memborong buku-buku yang bernilai meskipun terbit lebih dari 10 tahun silam.
Buku konvensional dalam bentuk fisiknya, huruf-huruf yang tercetak di kertas, yang bersahabat untuk mata pembaca berusia di atas 40 tahun itu tentu masih digandrungi pembaca setianya.
Sejumlah buku bisa memesona sepanjang waktu karena isinya yang mengandung ajaran kebaikan atau keutamaan manusiawi. Akan tetapi, ada juga buku yang mati tenggelam karena berisi masalah terlampau teknis, sementara perkembangan riil sudah melampaui masalah itu. Contohnya adalah buku-buku seputar pengetahuan teknis komputer yang kedaluwarsa terlewati oleh berbagai kemajuan di bidang itu.
Buku-buku biografi yang berisi keteladanan orang-orang yang berhasil dalam lingkup pekerjaan yang mereka tekuni merupakan salah satu jenis buku yang relatif abadi. Itu sebabnya buku-buku tentang sejarah hidup mereka selalu relevan untuk diketahui oleh pembaca.
Itu sebabnya membeli buku lama semisal biografi tentang Mahatma Gandhi, Erasmus Huis, Muhammad, Dalai Lama, P.K. Ojong, dan Jalaluddin Rumi selalu relevan dan pembaca selalu ingin tahu apa saja yang membuat mereka jadi tokoh termasyhur.
Membaca buku-buku biografi lama yang ditulis atas hasil kerja penelitian lama dan mendalam tentu beda dengan buku-buku yang ditulis secara instan karena penulisnya memanfaatkan keterkenalan tokoh yang ditulisnya. Yang pertama jelas menggali lebih dalam fenomena sang tokoh, sedangkan yang kedua sering hanya berdasar cuplikan-cuplikan berita surat kabar atau wawancara ala kadarnya kepada sang tokoh yang lagi menjadi perbincangan publik atau lagi memegang jabatan publik. Buku jenis terakhir ini, antara lain biografi tentang Dahlan Iskan saat dia diangkat menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Buku-buku yang tak mengenal masa kedaluwarsa pada akhirnya masuk ke dalam kategori buku-buku klasik. Mengapa buku-buku demikian disebut klasik? Ada beberapa parameter yang menyebabkan sebuah buku pantas dianggap sebagai karya klasik.
Yang pertama, buku itu sanggup melewati ujian zaman. Semakin tua, bukannya semakin terlupakan, tetapi tetap menjadi rujukan atau pembahasan ketika seseorang berbicara tentang masalah yang berkaitan dengan isi atau topik buku itu.
Sebagai contoh, novel berjudul Ziarah, karya Iwan Simatupang bolehlah dianggap karya sastra Indonesia yang menjadi klasik. Gaya bertutur dan tema yang ada pada karya itu merupakan sesuatu yang fenomenal sehingga menjadi bagian dari perbincangan ketika publik bicara tentang karya-karya bergenre absurd eksperimental.
Untuk karya nonfiksi, buku yang ditulis Clifford Geertz yang versi Inggrisnya diberi tajuk The Religion of Java bisa juga dikategorikan sebagai karya klasik.
Karya-karya semacam itu tidak pernah selesai untuk mengundang pembaca baru untuk menikmati dan menelaahnya.
Buku-buku yang sukses masuk dalam kategori klasik juga punya ciri gaya penulisannya yang memukau. Gaya bahasanya tak membosankan, tidak dangkal, tidak banal, tetapi juga tidak ruwet sehingga membuat pembaca enggan menyelesaikannya hingga halaman terakhir.
Karya-karya klasik biasanya menjadi bahan penelitian yang tak habis-habisnya bagi para mahasiswa atau sarjana. Bahkan, menjadi rujukan karena secara ilmiah telah menjadi semacam teori yang layak untuk dijadikan penguat atau bahan mempertanyakan kembali kebenarannya dalam konteks kekinian.
Sebenarnya, penerjemahan ke bahasa asing bisa juga dipakai sebagai parameter untuk mengukur apakah karya itu tergolong klasik atau tidak. Karya fiksi tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke banyak bahasa asing jelas merupakan karya klasik Indonesia.
Namun, perkembangan terakhir atas sejumlah karya Indonesia yang diterjemahkan ke sejumlah bahasa asing karena kepiawaian strategi pemasaran atas karya-karya bersangkutan, parameter ini perlu ditinjau ulang secara kritis.
Karya klasik tidak mesti merupakan karya yang menang dalam ajang pemberian penghargaan. Sebagian besar karya Chairil Anwar yang dipuja-puji banyak kritikus tak mendapat penghargaan.
Penghargaan paling esensial adalah pembicaraan publik dari generasi ke generasi yang membuat karya itu seolah hidup sepanjang zaman.
Buku yang menjadi klasik
11 April 2016 09:50 WIB
ilustrasi - obral di toko buku (ANTARA FOTO/Lucky R.)
Oleh M.Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: