Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diharapkan membenahi sistem penanganan pasca panen khususnya untuk komoditas jagung, dengan menyediakan lebih banyak alat pengering yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produk-produk petani.

"Semua sudah difasilitasi oleh pemerintah, namun pada pasca panen, dari dahulu hingga saat ini masih belum ditata. Itu permasalahan yang mendasar," kata Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir, dalam Seminar Nasional Kebijakan Jagung, di Jakarta, Rabu.

Winarno menjelaskan, para petani jagung saat ini sudah mampu untuk meningkatkan produksi dari sebelumnya rata-rata produksi sebanyak dua juta ton menjadi lima juta ton atau bahkan lebih. Namun, kelemahan dengan tidak adanya penanganan pasca panen yang tepat menyebabkan rusaknya hasil produksi petani tersebut.

"Memang ada Perum Bulog, akan tetapi Bulog tidak disiapkan untuk menyerap produk dari petani langsung baik itu gabah ataupun jagung. Dryer atau alat pengering juga sedikit," kata Winarno.

Menurut dia, seharusnya ada mediator dari para pelaku usaha sebagai penengah yang bisa mengeringkan jagung para petani sebelum dikirimkan menjadi pakan ternak. Pemerintah dan pelaku usaha diharapkan bisa menyiapkan gudang yang dilengkapi dengan pengering.

"Mengingat panen raya dalam jumlah besar terjadi hanya tiga bulan, maka pemerintah, industri dan pelaku usaha menyiapkan gudang dan dilengkapi dengan sarana pengering mengingat kadar air yang dibutuhkan pabrik pakan sebesar 15 persen sementara jagung petani lebih dari itu," kata Winarno.

Ia menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian memang sudah mengalokasikan dana cukup besar untuk mendukung para petani, namun diharapkan, dukungan dari pemerintah tersebut bukan hanya untuk sektor produksi saja, melainkan juga penanganan pasca panen.

Sementara itu, CEO dan Founder PT Vasham Kosa Sejahtera, Adrian Irvan Kolonas mengatakan bahwa salah satu contoh yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas jagung petani adalah kurangnya fasilitas pengeringan. Seperti yang terjadi di Lampung, saat panen jagung melimpah, penanganan pasca panen tidak maksimal dan menyebabkan harga jatuh.

"Kapasitas dryer di Lampung, hanya 5.000 ton sehari dengan kadar air 35 persen. Semua petani menanam bersamaan saat musim hujan, pada saat panen yang terjadi adalah panen berlimpah pada saat bersamaan dalam waktu enam minggu dengan kapasitas 5.000 ton," kata Adrian.

Ia menjelaskan, dengan kondisi tersebut terjadi kelebihan pasok jagung dari petani dan menyebabkan penurunan harga secara drastis, dan juga adanya pengetatan kualitas dari pabrik pakan. Namun, untuk mencapai kualitas yang baik dengan kadar air yang sedikit ada kendala dimana tidak semua petani memiliki lantai jemur untuk mengeringkan jagung-jagung tersebut.

"Pada saat panen pabrik pakan minta kadar air lebih rendah supaya produksi banyak. Tidak ada petani yang menjual ke industri pakan pada saat panen, semuanya jatuh ke tengkulak," kata Adrian.

Indonesia merupakan salah satu lumbung jagung dunia dan menempati posisi ke-8 dengan kontribusi 2,06 persen terhadap total produksi jagung dunia.

Sentra produksi jagung di Indonesia tersebar di 12 provinsi dan 45 kabupaten terutama di Kabupaten Grobogan, Kendal, Lampung Tengah, Lampung Timur, Tuban, Malang, Kediri, Blitar, Garut, Karo, Gowa, Pinrang, Bima, Sumbawa, Gorontalo dan lainnya.

Berdasarkan data ARAM-I BPS tahun 2015, produksi jagung 20,67 juta ton, naik 1,66 juta ton atau 8,72 persen dibandingkan tahun 2014 lalu dan merupakan produksi tertinggi selama lima tahun terakhir.

Dengan peningkatan produksi tersebut, memberikan nilai tambah ekonomi kurang lebih sebanyak Rp5,3 triliun.