Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan kebijakannya telah menunjukkan hasil pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan di saat ekonomi global mengalami perlambatan.

"Sekarang, di saat pertumbuhan ekonomi melambat, pertumbuhan PDB (Produksi Domestik Bruto) sektor perikanan naik menjadi 8,9 persen pada akhir 2015 dan diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada triwulan I-2016," kata Menteri Susi dalam rilis berita KKP, Jakarta, Senin.

Menteri Susi menargetkan agar angka tersebut naik secara bertahap setiap tahunnya, dan tetap pada prinsip menjaga kelestarian berkelanjutan sumber daya alam laut.

Dia mencontohkan kondisi di laut Arafura ketika dirinya baru menjabat sebagai menteri, berat ikan tangkapan hanya sekitar satu kg/ekor, kini rata-rata telah mencapai delapan kg/ekor. Perbaikan tersebut, lanjutnya, merupakan hasil dari pengaturan serta pemberantasan dan penegakan hukum atas tindakan pencurian melalui penangkapan ikan secara ilegal.

Hal itu mencakup moratorium izin kapal asing, penenggelaman kapal "IUU fishing", pengaturan alat tangkap, pendaftaran ulang dan pemulangan kapal asing, hingga menutup sepenuhnya sektor perikanan tangkap dari investasi asing.

"Reformasi dan upaya kami merekonstruksi sektor ini sudah menunjukkan hasil, ada perbaikan. Sebelum ada pemberantasan IUU Fishing, sektor perikanan tumbuh 7 persen di saat perekonomian nasional sedang bagus," tuturnya.

Ia juga mengemukakan bahwa keberhasilan reformasi di sektor perikanan dan kelautan juga menghasilkan kenaikan nilai tukar nelayan (NTN). NTN naik dari 102 sebelum Joko Widodo menjadi presiden ke 107 saat ini.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk benar-benar menegakkan hukum setelah diberlakukannya moratorium perizinan kapal ikan eks-asing pada tahun 2015.

"Kiara sudah sejak moratorium diberlakukan meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menindaklanjuti hasil kebijakan tersebut dengan melakukan berbagai upaya penegakan hukum secara bertahap," kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Kamis (31/3).

Abdul Halim mencontohkan, bila terbukti adanya perusahaan perikanan dalam negeri yang nakal dari sisi administrasi perikanan dan perpajakan, sebaiknya dilakukan upaya penagihan dan pencabutan izin usaha.

Sebaliknya, lanjutnya, jika terdapat perusahaan yang dikategorikan kesalahannya minimal, maka dapat diberikan tenggat waktu penyelesaian sehingga perusahaan bisa kembali beroperasi, termasuk para ABK-nya.

Untuk itu, ujar dia, diperlukan keberanian dalam melaksanakan komitmen keberpihakan terhadap masyarakat pesisir dan pelaku usaha nasional tanpa mengurangi esensi penegakan hukum pelaku pencurian ikan.

Terkait dengan unjuk rasa terhadap kebijakan Menteri Susi yang dilakukan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Tegal dan Rembang beberapa waktu lalu, Sekjen Kiara berpendapat, dalam konteks pengelolaan sumber daya perikanan dalam 1,5 tahun terakhir, rentetan demo tersebut menunjukkan adanya kebuntuan di dalam komunikasi.

Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat sejak Oktober 2014 hingga Maret 2016 telah terjadi penurunan tingkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan hingga mencapai sekitar 70 persen, khususnya pelaku usaha pemilik kapal di atas 10 GT dan ABK yang bekerja di atas kapal penangkap ikan milik sekitar 1.200 perusahaan yang dianggap bermasalah.